Pada masa kolonial Hindia Belanda, Kabupaten Sukabumi berada di bawah Kabupaten Cianjur, bagian dari Karesidenan Priangan. Pada 1776, Bupati Cianjur keenam Raden Noh Wiratanudatar VI membentuk kepatihan Tjikole, terdiri dari enam distrik yaitu Tjimahi, Tjitjoeroeg, Goenoengparang, Tjiheoelang, Djampangtengah, dan Djampangkoelon dengan pusat pemerintahan di Tjikole (Kota Sukabumi).
13 Januari 1815, Kepatihan Tjikole berubah menjadi Kepatihan Sukabumi, atas usulan ahli bedah Dr. Andries de Wilde, pemilik perkebunan kopi dan teh di Sukabumi. Nama "Soekabhoemi" berasal dari Bahasa Sansekerta, soeka berarti kesenangan, kesukaan, kebahagiaan, dan bhoemi berarti bumi atau tanah. Jadi Sukabumi memiliki arti, tanah yang disukai.
Kabupaten Sukabumi berdiri sejak ditetapkan Besluit Gubernur Jenderal Dirk Fock no. 71 tanggal 25 April 1921. Terpisah dari Kabupaten Cianjur sejak 1 Juni 1921, dengan bupati pertama adalah R. A. A. Soerianatabrata. Tahun 1923, Karesidenan Priangan dimekarkan tiga yaitu Priangan Barat berpusat di Sukabumi, Priangan Tengah di Bandung, dan Priangan Timur di Tasikmalaya.
Bupati kedua Sukabumi adalah R. A. A. Soeriadanoeningrat, memerintah sampai masa pendudukan Jepang. Hingga terjadi perombakan pembagian administratif di wilayah Jawa Barat, dengan membentuk lima karesidenan baru, yaitu Banten, Batavia, Bogor, Cirebon, dan Priangan.
Kabupaten Sukabumi sebelumnya merupakan bagian dari Karesidenan Priangan Barat, selanjutnya dimasukkan ke Bogor, karenanya wilayah Kabupaten dan Kota Sukabumi memiliki plat nomor kendaraan F.
Hindia Belanda takluk dari Jepang pada 8 Maret 1942, Karesidenan Priangan pun berganti nama menjadi Syukocan dengan kepala daerahnya Syukocanco. Kabupaten menjadi Ken, kepala daerahnya disebut Kenco. Kenco pertama Sukabumi R. A. A. Soeriadanoeningrat, wafat tahun 1942, lalu digantikan R. Tirta Soeyatna.
Setelah Indonesia merdeka, digelar musyawarah oleh Mr. R. Syamsoedin, Mr. Haroen, dan Dr. Aboe Hanifah, disepakati mengirim delegasi ke Karesidenan Bogor untuk mendesak pelaksanaan serah terima kekuasaan dari Jepang ke Indonesia. Jika gagal, akan ada aksi massa dari Badan Keamanan Rakyat, polisi, KNID, ulama, dan utusan daerah pada 1 Oktober 1945.
Gagalnya perundingan di Bogor, pada 1 Oktober 1945, menimbulkan aksi massa mengurung kantor Kempetai untuk membebaskan seluruh tahanan politik dan menyita persenjataan. Di Lapang Victoria (Sekarang Lapang Merdeka Kota Sukabumi) bendera Jepang diturunkan dan diganti Merah Putih. Kantor-kantor pemerintahan pendudukan Jepang pun berhasil direbut.
Dalam beberapa hari seluruh Kabupaten Sukabumi sudah dikuasai Pemerintah Republik Indonesia. Terjadi penggantian para pejabat Kewedanaan dan Kecamatan yang tidak pro dengan tokoh-tokoh pro-kemerdekaan.
Setelah berada di bawah kendali Pemerintahan Republik Indonesia, akhir 1945 Mr. Haroen diangkat sebagai Bupati Sukabumi pertama paska-kemerdekaan, sedangkan Mr. R. Syamsoedin menjadi Wali Kota Sukabumi. Istilah-istilah administratif pemerintahan Jepang sendiri diganti dengan istilah Indonesia, seperti Ken yang diubah menjadi Kabupaten. Tanggal 1 Oktober pun ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Sukabumi.
Kabupaten Sukabumi saat ini merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Aksi massa pada 1 Oktober 1945, ditetapkan sebagai hari lahir kabupaten ini. Saat ini, Kabupaten Sukabumi beribu kota Pelabuhanratu, luasnya 4.128 kilometer persegi, populasi 2.339.348 jiwa (2010), dan kepadatan 566,70. Jumlah desa di kabupaten ini 386, yang tersebar di 47 kecamatan. Mayoritas warganya menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa percakapan.
Kabupaten ini adalah terluas kedua di Pulau Jawa setelah Kabupaten Banyuwangi di (Jawa Timur). Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Bogor di Utara, Cianjur di Timur, Samudra Hindia di Selatan, serta Lebak di Barat. Dalam waktu dekat, kabupaten ini akan dimekarkan menjadi dua, kabupaten Sukabumi dan Sukabumi Utara yang meliputi 21 kecamatan. dari berbagai sumber