Pada zaman dulu, sebelum agama Islam masuk kedaerah Jambi, ada sebuah
dusun yang terletak dipinggir sungai Batang Asai, dusun ini bernama
Ujung Tanjung karena letaknya di Ujung Tanjung Tembesi. Sejak zaman
Hindu dusun Ujung Tanjung ini sudah terkenal karena daerah ini menjadi
pusat Pemerintahan Segala Batin (Negeri). Kepala Dusunnya dipimpin oleh
seorang Rio yang bergelar Datuk Bagindo Tuo, kala itu tidak sembarang
orang bisa jadi Kepala Dusun atau Rio. Hanya orang yang berilmu tinggi
dan sakti saja lah yang bisa menjadi Kepala Dusun dan dihormati
rakyatnya. Karena Ujung Tanjung menjadi pusat Pemerintahan Segala Batin
(Negeri) didirikanlah sebuah tempat musyawarha yang dinamakan Balai Panjang. Sampai sekarang ungkapan Balai Panjang ini disebut dalam kata - kata adat di Kabupaten Sarolangun yang berbunyi "Ujung
Tanjung Saribulan, Bakuto Pinang Balarik, Idak Pasih Bategak Rumah,
Pasih Bategak Balai Panjang, Disitu Tempat Kusut Basalesai, Silang
Tempat Bapatut".
Bulan berganti tahun, tahun berganti abad, dari zaman Hindu masuk Islam,
daerah Jambi diperintah oleh seorang Raja Jambi yaitu Sultan Thaha.
Dimasa Pemerintahan Sultan Thaha inilah nama Dusun Ujung Tanjung disebut
Ujung Tanjung Saribulan. Pasalnya ketika rombongan Kerajaan
Melayu Jambi yang dipimpin oleh Sultan Thaha dengan membawa rombongan
armada perahu kajang lakonya menelusuri sungai batanghari kehulu dan
masuk ke sungai batang tembesi untuk meninjau daerah dan rakyatnya, dan
sampailah ke dusun Ujung Tanjung. Rombongan disambut oleh rakyat
sebagaimana layaknya menyambut seorang Raja. Sultan Thaha menjadi tamu
Datuk Rio Bagindo Tuo lengkap dengan pengawal hulubalang tangguh yang
datang dari dusun - dusun sekitarnya seperti : Bathin VIII, Bathin VI,
Bathin Pengambang, dll.
Sistem Pemerintahan didusun Ujung Tanjung Saribulan ketika itu adalah
sistem pintu gerbang, Karena Ujung Tanjung menjadi pusat Pemerintahan
Segala Bathin. Bagi para tamu dari luar daerah tidak boleh datang
langsung ke Ujung Tanjung Saribulan tetapi harus menghadap dan melapor
Datuk Rio Depati Singo Dilogo kepala Pemerintahan di desa Lidung. Desa
Lidung ini terletak kira - kira 5 km kehilir sungai tembesi. Apabila
sudah ada izin dari Rio Lidung ini, barulah tamu tadi datang ke Rio
Datuk Bagindo Tuo di Ujung Tanjung Saribulan.
Pada masa ini lah Dusun Ujung Tanjung berubah nama menjadi SAROLANGUN, dongengnya kira - kira begini :
Suatu ketika ada dua orang tamu dari daerah Musi Rawas berasal dari
Dusun Suro. Kedua orang ini ingin bertemu dan menghadap Rio Datuk
Bagindo Tuo di Ujung Jabung tersebut. Mereka ingin bertemu untuk
silaturahmi dan ingin menuntut ilmu kesaktian dengan Datuk Rio. Sebelum
mereka ke Ujung Tanjung Saribulan sudah menjadi ketentuan haruslah
melapor terlebih dahulu kepada Rio Dusun Lidung. Transportasi atau
hubungan antar dusun ketika itu terutama melalui sungai, sedangkan
hubungan darat sangat sulit karena belum ada jalan seperti saat ini,
yang ada semak belukar bahkan masih hutan belantara.
Ketika kedua orang suro ini menuju Dusun Lidung haripun sudah hampir
malam. Terpaksalah kedua orang tersebut istirahat dan bermalam ditengah
hutan ini yang bernama hutan Senaning. Sore harinya itu sempat pula
kedua orang ini bertemu dengan dua orang penduduk Dusun Lidung yang mau
pulang dari mencari rotan. Sanak datang dari mana dan tujuan kemana,
sapa orang Lidung kepada kedua orang suro ini. Kami datang dari dusun
Suro Musi Rawas mau menghadap Datuk Rio Depati SingoDilago di Dusun
Lidung, jawab kedua orang suro ini. Karena hari sudah senja dan Dusun
Lidung masih jauh, maka bermalamlah kedua orang suro ini di hutan
Senaning. Sesampainya di Dusun Lidung, kedua pencari rotan tadi melapor
kepada Datuk Rio bahwa di hutan Senaning ada tamu bermalam disana dan
mau menghadap Datuk Rio. Oleh Datuk Rio diperintahkannya lah aling -
aling atau pesuruhnya untuk menjemput dan membawa kedua orang suro tadi
ke Dusun Lidung.
Setelah tiba di tempat bermalamnya orang suro itu ternyata sudah
tidak ada lagi di tempat itu, sedangkan perintah Rio kalau belum ketemu
harus dicari terus didalam hutan itu. Sudah dua hari utusan itu
berkeliling di hutan Senaning, namun kedua orang suro itu tidak juga
ditemukan. Akhirnya para pencari inipun pulang ke Dusun Lidung dan
memberi tahu Rio nya bahwa kedua orang suro itu sudah berpindah dari
tempatnya.
Beberapa hari kemudian didapat berita oleh Rio Dusun Lidung bahwa
kedua orang suro itu telah bermalam dan berpindah ke dusun Ujung Tanjung
Saribulan. BERMALAM dan BERPINDAH dalam bahasa dusun itu disebut MELANGUN.
Dikarenakan peristiwa melangun ini terjadi di Dusun Ujung Tanjung
Saribulan maka Desa Ujung Tanjung Saribulan berubah nama menjadi SURO MELANGUN. Lama kelamaan disebabkan logat dan ejaan orang dusun SURO MELANGUN berubah menjadi SAROLANGUN.
Kini Sarolangun telah menjadi Kabupaten Sarolangun yang merupakan
bagian dari Provinsi Jambi. demikianlah sekelumit dongeng tentang asal
usul nama SAROLANGUN.