Nama Tungkal Ulu yang kini menjadi nama salah satu kecamatan dalam
Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang akan digunakan dalam tulisan ini
adalah istilah yang lebih luas yaitu meliputi pengertian Tungkal Ulu
secara etnik dan kultural yang terdiri dari Kecamatan Tungkal Ulu,
Kecamatan Merlu......ng dan sebagian kecil Kecamatan Pengabuan.
Kapan pertama sekali istilah Tungkal Ulu, sulit dicari referensi yang
dapat mendukungnya secara ilmiah. Namun, banyak pihak yang meyakini
bahwa Tungkal pada masa lalu tidaklah terbagi antara Tungkal Ulu dan
Tungkal Ilir sekarang. Istilah Tungkal pada masa lalu adalah juga untuk
menyebut Tungkal Ulu sekarang, mengingat sejarah kedatangan orang ke
Tungkal Ilir dapat diketahui dengan jelas. Jika kedatangan penduduk di
Tungkal Ilir sekarang, dapat diketahui, maka kapan datangnya penduduk di
Tungkal Ulu sulit dicari kebenarannya secara ilmiah. Suku-suku yang
kini mendiami wilayah Tungkal Ilir seperti suku Melayu Timur, Palembang,
Banjar, Jawa, dan Bugis dapat dengan tegas menyebutkan dari mana mereka
berasal. Tidak demikian halnya dengan masyarakat Melayu yang mendiami
wilayah Kecamatan Merlung, Tungkal Ulu dan sebagian kecil Kecamatan
Pengabuan.
Oleh karena itu diyakini pula bahwa orang-orang pertama yang datang di
daerah yang kini bernama Tungkal Ulu jauh lebih dahulu dari ketika
daerah ini bernama Tungkal Ulu. Banyak pendapat dan versi yang
berkembang tentang nama Tungkal Ulu.
Versi pertama adalah bahwa istilah Tungkal Ulu digunakan sebagai padanan
Tungkal Ilir yaitu nama Marga yang beribukota di Kuala Tungkal.
Dusun-dusun yang berada di sekitar Kuala Tungkal dimasukkan dalam
wilayah Marga Tungkal Ilir yaitu dusun-dusun yang berada di ilir Sungai
Pengabuan. Sedangkan dusun-dusun yang berada di ulu Sungai Pengabuan
dimasukkan dalam satu Marga yang bernama marga Tungkal Ulu dengan
ibukota di Merlung.
Dalam istilah geografis, istilah Kuala atau Muara digunakan untuk nama
daerah yang berada di kuala atau muara sungai yang yang mengalirinya.
Misalnya Muara Bulian, adalah muaranya Sungai Batang Bulian, Muara
Tembesi adalah muaranya Sungai Batang Tembesi. Kuala Dasal adalah
muaranya Sungai Dasal. Meski demikian, terdapat juga penamaan yang tidak
ada kaitan dengan nama sungai yang mengalirinya sebut saja Kuala
Lumpur, Kuala Simpang, Muara Jambi dan lain-lain.
Menurut sebuah sumber seperti yang diceritakan Syafei Maturidi , mantan
Pasirah Marga Tungkal Ulu istilah Kuala Tungkal tidak menunjukkan bahwa
Sungai yang mengalirinya bernama sungai Tungkal. Nama sungainya tetaplah
Sungai Pengabuan, adapun mengapa nama kuala Sungai Pengabuan dinamakan
Kuala Tungkal tidak Kuala Pengabuan karena muara atau kuala sungai
Pengabuan hanya satu atau tunggal. Muara atau Kuala sungai-sungai besar
yang mengalir di Pulau Sumatera yang bermuara di pantai timur Sumatera
pada umumnya bercabang.
Karena itu, Kuala Sungai Pengabuan disebut Kuala Tunggal, atau kuala
yang satu. Istilah Tunggal berubah Tungkal oleh perubahan dialek. Jika
pendapat tersebut benar adanya, dapat disimpulkan bahwa nama Kuala
Tungkal lebih dulu dikenal, dan kehidupan masyarakat di Kuala Tungkal
lebih dahulu daripada masyarakat Tungkal Ulu. Ini artinya bertolak
belakang dengan pendapat di atas. Dengan demikian, pendapat bahwa nama
Tungkal berasal dari kata “Tunggal” memiliki dasar yang lemah.
Versi kedua, adalah berdasarkan tulisan HA Rivai , seorang tokoh
cendekiawan Tungkal Ulu yang menulis Tambo Tungkal Ulu. Tulisan yang
bercerita tentang apa yang dikisahkan dalam Tambo Tungkal Ulu juga
diceritakan A Mukti Nasrudin dalam makalahnya berjudul Jambi dalam
Sejarah Nusantara 692-1949. Menurut kedua sumber ini, orang-orang
Tungkal Ulu sekarang jauh lebih dahulu mendiami daerah di ulu Sungai
Pengabuan ini. Orang-orang Tungkal Ulu diyakini berasal dari Pagaruyung
bersamaan dengan eksodusnya orang-orang Pagaruyung ke daerah lain dalam
Propinsi Jambi sekarang. Bukti kultural dan hukum adat menunjukkan bahwa
pendapat tersebut ada benarnya. Terdapat sejumlah persamaan dalam hukum
adat dan bahasa.
Apa yang dituliskan HA Rivai dalam Tambo Tungkal Ulu, adalah berdasarkan
pertemuan para Penghulu Kepala Dusun, Rio, dan Demong dalam Marga
Tungkal Ulu yang diadakan pada tahun 1968 di Pelabuhan Dagang. Di antara
tokoh-tokoh yang hadir waktu itu, terdapat nama Rio Muhammad Aji dari
Lubuk Bernai, Hamzah bin H Tayib dari Merlung, Rio Sigeh dari Lubuk
Kambing. Penghulu Zulkifli dari Penyabungan, Raden Ibrahim dari Dusun
Mudo, dan HA Rivai sendiri mewakili Pelabuhan Dagang.
Orang-orang Minangkabau yang eksodus ke Tungkal Ulu sekarang bersamaan
dengan mereka yang juga mendiami sejumlah wilayah lain di Jambi dalam
catatan Nasrudin adalah anak keturunan Adityawarman, Raja Melayu yang
terkenal yang mendirikan Kerajaan Pagaruyung yang dipimpin oleh seorang
Menteri bernama Datuk Malin Andiko Srimaharajo. Karena itulah mereka
yang pertama kali kemudian mendiami wilayah Tungkal Ulu sekarang disebut
juga Suku Mandaliko. Jika tesis ini benar adanya, maka peristiwa
eksodusnya orang Minangkabau ke Tungkal Ulu diperkirakan terjadi pada
abad ke-15 dan orang-orang yang datang dari Minangkabau tersebut telah
memeluk Agama Islam.
Hanya saja, rombongan orang-orang Minangkabau yang datang ke Tungkal
mendapati bahwa daerah ini telah pula berpenghuni manusia diantaranya di
Merlung, Tanjung Paku dan Suban, yaitu masyarakat peninggalan Kerajaan
Kuntala. Mereka telah pula mempunyai struktur pemerintahan yang
dikepalai seorang Demong.
Pada mulanya, rakyat Kedemongan tidak mau tunduk kepada pendatang asal
Minangkabau, tapi lama kelamaan mereka sepakat untuk berbaur menjadi
masyarakat yang satu, dengan catatan tidak semua hukum adat Minangkabau
dapat diterapkan di Tungkal.
Struktur pemerintahan pada masa itu tidak jauh berbeda dengan struktur
pemerintahan di Minangkabau negeri asal Suku Mandaliko. Wilayah Tungkal
Ulu dibagi dalam tiga areal atau disebut ‘suku nan tigo. Tiga suku yang
dimaksud adalah anak-anaknya yang mendiami tiga wilayah masing-masing,
Lubuk Kambing, Lubuk Bernai (Tanjung Genting) dan Rantau Benar sekarang.
Pada perkembangannya masyarakat perantauan asal Minangkabau berbaur
dengan masyarakat Melayu asal Johor menjadi masyarakat Tungkal Ulu
setelah Kerajaan Johor menaklukkan Tungkal. Yang memberi nama Tungkal
adalah para bangsawan Johor yang tersesat dalam perjalanannya menuju
Indragiri. Nama Tungkal diambil dari nama kayu yang banyak ditemui di
kuala sungai Pengabuan.
Sekembalinya mereka ke Johor, Sultan memerintahkan untuk mendatangi
kembali Sungai Tungkal untuk melakukan invasi. Invasi kesultanan Johor
berhasil dilakukan dengan damai. Para petinggi Johor dan Minang akhirnya
sepakat membagi anak keturunan Datuk Mandaliko dalam beberapa suku,
yaitu Suku Benaluh yang pemimpinya bergelar Paduko, Suku Lingkis yang
pemimpinya bergelar Rio Singokarti, suku Runai Air Talun yang
pemimpinnya bergelar Rio Manaleko Eleng, serta suku Dusun Baru yang
pemimpinnya bergelar Rio Manaleko Panai.
Selanjutnya, terjadi perubahan dalam struktur pemerintahan di negeri
Tungkal. Sultan Johor mengangkat anaknya menjadi kepala Pemerintahan di
Tungkal dengan gelar Orang Kayo Raja Depati. Bersama Datuk Mandaliko
mereka membentuk Pemerintahan Biduando nan Empat yaitu :
- Pemerintahan Lubuk Petai yang dikepalai Orang Kayo Rajo Laksamana,
- Pemerintahan Suku Teberau yang dikepalai Orang Kayo Depati,
- Pemerintahan Suku Sungai Landui (Mandah) yang dikepalai Orang Kayo Lamsasti,
- Pemerintahan Suku Buluh Munti, yang dikepalai Datuk Bandar.
Pada perkembangannya, Sultan Johor melepaskan kekuasaanya kepada
Tungkal, dan anak keturunannya banyak melakukan eksodus ke daerah ilir
dan mendiami daerah yang kini dikenal dengan Desa Senyerang, Sungai Kayu
Aro, dan Teluk Ketapang. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika
syiar agama Islam di Senyerang lebih semarak. Menurut yang diceritakan
Rajo Bujang dkk, Sultan Johor membebaskan Tungkal dari kewajiban
mengirimkan upeti atas kecerdasan Lamsasti, anak yang ditemukan Datuk
Andiko dalam perahu. Kemungkinan lain, pembebasan itu dapat pula
disebabkan menurunnya kekuasaan Sultan Johor yang tunduk di bawah
pengaruh Malaka.
Nama Pengabuan sendiri diberikan oleh orang-orang Minangkabau yang
berarti tempat membuang abu (jenazah). Jika ini benar, maka dapat
disimpulkan bahwa orang-orang Tungkal Ulu masa dahulu beragama Hindu
atau Budha. Pendapat ini tentu saja masih menimbulkan pertanyaan yang
dapat diperdebatkan.
Pertanyaan itu misalnya adalah, jika memang berasal dari Minangkabau,
mengapa nama-nama dusun yang diyakini lebih dahulu dari nama Tungkal Ulu
sendiri tidak berbahasa Minang. Nama Lubuk Kambing, Rantau Benar, Lubuk
Bernai, Penyabungan, Tanjung Paku, Pulau Pauh, Taman Rajo, dan
seterusnya menunjukkan nama- nama Melayu.
Dalam Buku Tambo Alam Minangkabau yang ditulis oleh Datuk Tuah , tidak
disebutkan adanya hubungan antara Minangkabau dengan Tungkal. Yang
paling mendekati adanya hubungan Tungkal dengan Minangkabau adalah
diceritakannya hubungan antara Minangkabau dengan Jambi dan hubungan
Minangkabau dengan Suku Talang Mamak yang berdiam di wilayah Retih dan
Kuantan Riau, dimana diakui bahwa orang-orang Minangkabau memang pernah
melakukan eksodus ke negeri orang Talang Mamak..
Dalam hal ini, dapatlah ditarik suatu gambaran bahwa Orang Talang Mamak
sebagai penduduk asli Riau mendiami wilayah Retih dan Kuantan memiliki
hubungan dengan orang Tungkal. Dalam batas-batas wilayah negeri Datuk
Mandaliko disebutkan sebagai berikut :
“ dari labing Batu Betingkap (Lubuk Kambing sekarang) sampai Tunggul nan
Belepat menuju ke Bukit Merbau sebelah utara menuju ke Bukit Bakar
(Sungai Ibul, dekat Lubuk Bernai, berbatasan dengan Tebo Ilir) meniti
pematang Cindai Halus menuju Batu 68 melereng ke Batu 39-40, terus
menuju Ulu Mendaharo Kiri mengalir sampai ke Muara Mendaharo menuju Air
Alas Alang Tigo Pulau Berhalo ke Barat masuk Kualo Sungai kerang
seberang tanjung Labu menuju Pulau Kijang. Sampai di Pulau Kijang
bertemu kijang bertanduk emas dikejar sampai Sungai Gergaji (Retih)
menuju Kualo Retih memudik Batang Retih sampai Selensen menuju Kualo
Bubur, bergerak menuju Bukit Cundung (Retih) sebelah pematang Kulim.
Dari Pematang Kulim menuju Suo-suo balik lagi ke Tunggul nan Belepat
Labing Batu Betingkap.”
Dari batas-batas wilayah negeri Tungkal di atas, dapat diduga bahwa
masuknya orang-orang Minangkabau ke Tungkal Ulu sekarang bukan melalui
Tebo seperti yang selama ini dipercayai tetapi melalui Retih atau
tepatnya lagi melalui negeri orang Talang Mamak. Kebenaran pendapat ini
dapat dibuktikan dengan adanya hubungan kekerabatan antara orang-orang
Tungkal Ulu dengan orang-orang Retih dan Kuantan. Selain adanya hubungan
kekerabatan dengan kedua daerah di Riau ini, hubungan kekerabatan
orang-orang Tungkal Ulu juga terjadi dengan orang-orang Johor.
Versi ketiga, terdapat pula pendapat meyakini nama Tungkal merupakan
perubahan etimologis dari nama Kuntala, sebuah nama Kerajaan Budha yang
banyak ditulis dalam sejarah. Dalam buku Dinamika Adat Masyarakat
Kabupaten Tanjung Jabung Barat seperti telah disebutkan di atas,
disebutkan bahwa sebelum kedatangan orang-orang Pagaruyung ke Tungkal
Ulu, beberapa dusun seperti Merlung, Tanjung Paku, dan Suban sudah
berpenghuni yaitu masyarakat sisa-sisa Kerajaan Kuntala yang merupakan
Kerajaan yang sudah berdiri sebelum Melayu dan Sriwijaya yang waktu itu
merupakan daerah taklukan Kerajaan Singosari.
Dalam makalah yang berjudul Kerajaan Malayu Kuno Pra Sriwijaya yang
ditulis oleh Prof. Dr. Sartono yang disajikan dalam Seminar Sejarah
Melayu Kuno, pada tahun 1992, disebutkan bahwa Kerajaan Kuntala terdapat
di pantai timur Sumatera di abad ke 5-6. Dalam transliterasi China,
Kuntala disebut Kuntal sebagaimana Sanjaya menjadi Sanjay. Dalam makalah
tersebut dinyatakan bahwa Kerajaan Kuntala, Kantoli atau Kandali telah
dikenal oleh Pemerintahan Kaisar Hsiau-Wu yang hidup pada tahun 459-464.
Nama Kantoli juga disebut dalam masa pemerintahan Dinasti Ming pada
tahun 1368-1644 sebagai kerajaan dagang yang besar.
Dalam makalah lain, Prof. Sukomono memberi catatan pada nama Pelabuhan
Dagang yang dapat saja merupakan suatu kota pelabuhan pada masa Kerajaan
Melayu Kuno jika dihubungkan dengan adanya kemungkinan pendangkalan air
laut. Dalam makalah lainnya lagi, Uka Tjandrasasmita juga mengungkapkan
:
“ Pelabuhan-pelabuhan lainnya yang ada di DAS Batanghari seperti di
Muara Tebo, Muara tembesi, dan Pelabuhan Dagang di hulu Sungai Tungkal
tidak dapat pula diabaikan pula sebagai tempat-tempat pengumpul barang
hasil dari daerah pedalaman pula.”
Terlepas dari soal Pelabuhan Dagang, kemungkinan terjadinya pendangkalan
air laut dapat diterima. Dalam wawancara penulis dengan Syafei
Maturidi, dikatakan bahwa semasa beliau menjabat Pasirah Marga Tungkal
Ulu, ketika dilakukan penggalian tanah oleh PT Heeching TII di Taman
Raja, didapati bekas-bekas kulit kerang dalam jumlah sangat banyak, hal
mana membawa kita pada kesimpulan bahwa Taman Raja dahulunya adalah
kuala Sungai Pengabuan (Tungkal).
Bukti lainnya yang hingga kini belum banyak terungkap adalah mengenai
keberadaan Air Terjun Pelang, yang berbentuk seperti kapal yang kini
menjadi seperti batu kapal.
Jika versi terakhir ini adalah versi yang paling benar, maka kehadiran
masyarakat Tungkal Ulu sekarang jauh lebih tua dari apa yang digambarkan
pada versi pertama dan kedua di atas.
B. Dalam Wilayah Kesultanan Jambi
Menurut A Mukti Nasrudin, masyarakat Tungkal Ulu memang lebih dahulu
mendiami daerah aliran Sungai Pengabuan. Barulah Tungkal Ilir didatangi
oleh orang-orang Bajau dan Melayu asal Brunai. Pada masa kejayaan
Kesultanan Jambi seiring dengan semakin berkurangnya kontrol Raja Johor
atas Tungkal, tersiarlah kabar di Tanah Pilih (Kota Jambi sekarang)
bahwa di daerah aliran sungai Pengabuan terdapat masyarakat suku
Biduando. Sultan mengutus orang kepercayaan ke Tungkal Ulu supaya
mengakui kekuasaan Sultan Jambi, dan ditolak. Akan tetapi sang utusan
berhasil mendapat pengakuan dari orang-orang Melayu di Tungkal Ilir akan
kekuasaan Sultan Jambi.
Pada utusan kedua yaitu Pangeran Hadi saudara Sultan Abdurahman
Nazarudin (1855 s/d 1881), barulah Orang Tungkal mengakui kekuasaan
Melayu Jambi. Selanjutnya, Sultan Jambi mengangkat saudaranya Pangeran Kesumo sebagai wakil pemerintah di Tungkal Ulu.
Di Tungkal Ilir, Sultan Jambi bahkan mengutus Mantri Berangas yang kelak
dikenal sebagai pendiri Kuala Tungkal. Mantri Berangas membangun
komunikasi dan menjalin hubungan bahkan saling mengangkat saudara dengan
suku Melayu yang diketuai Datuk Sumpeno, bersama-sama membangun Kuala
Tungkal sebelum datangnya orang-orang Banjar, Bugis dan Jawa ke wilayah
ini.
Dalam hal ini, terdapat suatu tanda tanya yang besar bagi penulis. Dalam
makalah yang ditulis A Mukti Nasrudin seperti yang juga ditulis HA
Rivai, Tungkal Ulu disebut sebagai daerah taklukan Sultan Johor, barulah
kemudian ditaklukkan oleh Sultan Jambi pada sekitar abad ke-19,
sementara di sisi lain dalam Catatan tentang Tahun-tahun Bersejarah
Propinsi Jambi, disebutkan bahwa pada tahun 1630 (Abad ke-17), Sultan
Jambi menolak menyerahkan Tungkal kepada Malaka . Itu berarti bahwa
sebelum tahun 1630, Tungkal merupakan wilayah kesultanan Jambi, bukan
wilayah Kesultanan Johor.
Jika dilakukan analisis atas dua pernyataan yang saling berbeda ini,
maka kemungkinan bahwa Tungkal ditaklukkan Johor dapat didukung dengan
kenyataan geografis dekatnya Tungkal dengan wilayah Kesultanan Johor
melalui sarana perhubungan laut. Hubungan kekerabatan masyarakat Tungkal
Ulu sekarang justru banyak terjalin dengan masyarakat Johor dan Riau,
bukan dengan masyarakat Jambi. Sedangkan pemikiran yang dapat mendukung
bahwa Tungkal merupakan bagian dari Jambi, dapat dibenarkan jika melihat
fakta sejarah bahwa Kerajaan Melayu Jambi telah berdiri sejak tahun
1500. Sungguh masuk akal jika dalam kurun waktu itu Sultan Jambi
mengetahui keberadaan komunitas masyarakat di Tungkal Ulu.
Seakan menjawab kontroversi ini, Uka Tjandrasasmita mengutip Tome Pires
dalam bukunya Suma Oriental yang menceritakan keadaan pada masa kejayaan
Sultan Demak sekitar tahun 1512-1515 bahwa Tungkal merupakan suatu
negeri yang berdiri sendiri, akan tetapi berada di bawah Kerajaan
Malaka.
“ Tanah Tongkal berbatasan di satu sisi dengan Indragiri dan di sisi
lainnya dengan Jambi. Negeri ini tidak mempunyai raja dan juga mandarin.
Negeri ini menurut ke Malaka sebagai pemberi upeti. Ini adalah negeri
kecil. Negeri ini juga berbatasan dengan Minangkabau. Ia mempunyai
barang-barang dagangan seperti barang-barang dagangan Indragiri, tetapi
banyaknya tidak demikian. Ia cukup mempunyai bahan-bahan pangan untuk
mereka sendiri dan untuk orang-orang lainnya. Di depan berhadapan dengan
negeri ini ada pulau-pulau Calantiga.”
Di bagian lain Tome Pires menyebutkan bahwa pada masa itu Malaka menjadi
pusat perdagangan berbagai bangsa. Bangsa-bangsa yang berkumpul antara
lain : Orang-orang Muslim dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Rang
Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Turki, Turkoman, Armenia Kristen,
Gujarat, Bengal, Ghaul, Dabhol, Goa, dari Kerajaan Dekan, Malabar, dan
Keling, pedagang-pedagang dari Orissa, Ceylon, Arakan, Pegu, Siam,
orang-orang Kedah, orang-orang Malayu, orang Pahang, Patani, Kamboja,
Campa, Kocin, Cina, Dina, Lequeos, Brunei, Duceous, Tanjungpura, Laue,
Banka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda,
Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatta, Menangkabau, Siak, Arcua
(Arkat), Aru, Bata, negeri Tanjung, Pase, Pedir, Maladiva.
Dari uraian-uraian di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa Tungkal
seperti yang diungkapkan Tomi Pires sebagai negeri yang tidak mempunyai
Raja, adalah benar adanya. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis dalam
Tambo Tungkal Ulu, seperti juga yang ditulis A Mukti Nasrudin dan Rajo
Bujang dkk, bahwa pada masa itu di negeri Tungkal hanya ada seorang
setingkat Wakil Pemerintah Johor yang mempunyai otonomi. Dikisahkan,
atas sesuatu peristiwa yang membuat takjub Sultan yaitu kecerdasan
Lamsasti anak yang ditemukan Datuk Andiko dalam perahu, Sultan Johor
menganugrahkan kepada Datuk Andiko, penguasa Tungkal turunan Minangkabau
untuk tidak lagi mengirimkan upeti kepada Johor. Dengan kata lain,
sejak itu negeri Tungkal adalah negeri yang berdiri sendiri sampai
datangnya utusan Pemerintah Sultan Jambi yang dipimpin oleh anak
keturunan Datuk Andiko dan keturunan Johor (Suku Biduando) yang bergelar
Orang Kayo. Negeri ini berada di bawah pengaruh Sultan Malaka, karena
kemungkinan pada waktu itu, Johor sendiri sudah ditaklukkan oleh Malaka.
Selanjutnya, seperti digambarkan di atas, Tungkal menjadi bagian dari
wilayah Kesultanan Jambi tergambar dalam seloko adat tentang batas-batas
wilayah adat Jambi yaitu Dari Ujung Jabung sampai Durian Batakuk Rajo,
Dan sialang belantak besi sampai Bukit Tambun Tulang. Ujung Jabung
maksudnya tepian pantai Selat Berhala sekarang, Durian Takuk Rajo yaitu
daerah Tanjung Samalidu, Sialang Belantak Besi yaitu daerah Sitinjau
Laut, dan Bukit Tambun Tulang yaitu Bukit Tiga Singkut.
Dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi , disebutkan bahwa
wilayah administrasi Kerajaan Jambi meliputi Pucuk Jambi Sembilan Lurah,
tiangnya Alam Rajo. Adapun lurah yang sembilan itu sebagaimana yang
dikutip dari Kementerian Penerangan, Propinsi Sumatera Tengah meliputi :
- Batang Merangin,
- Batang Masumai,
- Batang Tabir,
- Batang Pelepat,
- Batang Senamat,
- Batang Tebo,
- Batang Bungo,
- Batang Juhuhan dan
- Batang Abuan Tungkal.
Di awal kekuasaan Belanda di Jambi, Sultan Thaha (1855-1904) bahkan
mengutus salah seorang panglima perangnya bernama Raden Usman ke front
IV Pertahanan Jambi yang meliputi Sungai Bengkal dan Tungkal Ulu. Raden
Usman tewas sebagai ksatria di Merlung dan dimakamkan di Pelabuhan
Dagang. Raden Mattahir pun pernah melakukan perjalanan dari melalui rute
Jambi - Muara Tebo – Merlung Pelabuhan Dagang – Jambi dalam memperkuat
pertahanan pasukan yang dipimpin Raden Usman menghadapi serangan
Belanda.
C. Terbentuknya Marga Tungkal Ulu
Sebelum Sultan Taha naik tahta dan mendeklarasikan permusuhannnya dengan
Belanda, Belanda sesungguhnya telah melakukan sejumlah perjanjian
dengan Sultan Jambi yang melemahkan kewibawaan Sultan sendiri. Jadi,
walaupun secara de facto Jambi belum jatuh ke tangan Belanda, Jambi
berada dalam kontrol Belanda. Bentuk pemerintahan dalam Kesultanan Jambi
tergambar dalam seloko adat :
“ Alam nan be-Rajo,
Rantau nan be-Jenang,
Negeri nan be-Batin,
Luhak nan be-Penghulu,
Kampung nan be-Tuo,
Rumah nan be-tengganai,
Daerah pemerintahan yang terendah adalah dusun, mempunyai kekayaan
sendiri, tetapi tidak mempunyai hak penuh untuk bertindak, karena di
bawah perlindungan daerah yang lebih tinggi seperti luhak, negeri dan
rantau.
Setelah Jambi jatuh dalam taklukan Belanda, struktur pemerintahan
disesuaikan dengan peraturan pemerintah Hindia Belanda. Namun disamping
dibentuk struktur pemerintahan Hindia Belanda, Belanda juga tetap
mengakui bentuk-bentuk pemerintahan asli masyarakat setempat, yang salah
satunya adalah Marga.
Marga adalah bentuk pemerintahan yang berada di bawah Residen dalam
pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintahan Marga sendiri sesungguhnya
tidak dikenal dalam struktur pemerintahan Melayu Jambi. Pemerintahan
Marga yang aslinya dikenal dalam Kerajaan Palembang Darussalam digunakan
juga di Jambi, ketika untuk pertama kali Jambi ditaklukkan Belanda dan
dimasukkan dalam wilayah Keresidenan Palembang. Dalam struktur
pemerintahan Sultan Jambi, Marga sederajat dengan Negeri yang dikepalai
seorang Batin. Adapun alasan Belanda menyeragamkan bentuk pemerintahan
dengan nama Marga selain karena alasan praktis untuk menyamakan dengan
Palembang, adalah juga untuk menghilangkan perbedaan sebutan yang dalam
kesultanan Jambi amat banyak.
Perubahan Struktur Pemerintahan Sultan menjadi Struktur Pemerintahan
Hindia Belanda di Jambi dapat digambarkan dalam tabel berikut :
Tabel 1
Perbandingan Organ Pemerintahan Sultan, Hindia Belanda, dan
Republik Indonesia
Pemerintahan Sultan Pem. Hindia Belanda Pem. Sekarang
Raja/Sultan * Resident Gubernur
- Asisten Residen/Kepala Afdeling -
Jenang Kep.Onder Afdeling Bupati/Walikota
- Kep.Distrik/Wedana/Demang -
- Kep.Distrik/Ass.Wedana/Kecamatan Camat
Batin Marga -
Penghulu Kepala Dusun Kepala Desa
* Dalam menjalankan pemerintahan Sultan dibentu Kerapatan Patih Dalam dan Kerapatan Patih Luar
Pengakuan Belanda atas daerah yang otonom seperti Marga sejalan dengan
politik Kolonial untuk memerintah dengan menggunakan kesatuan-kesatuan
pemerintah asli dengan biaya dan usaha yang relatif ringan. Justru
dengan pemanfaatan struktur pemerintahan yang asli ini menambah
kewibawaan Pemerintah Belanda. Dengan kata lain, Belanda berusaha
menjajah bangsa Indonesia dengan tangan Bangsa Indonesia sendiri.
Marga yang dimaksud adalah satu daerah hukum (Rechtsgebeied) yang
dikepalai seorang kepala Marga yang disebut Pasirah yang dipilih melalui
suatu pemilihan umum secara langsung. Adapun calon pasirah dipilih dari
orang-orang yang ada hubungan darahnya dengan pemerintah adat selama
ini yaitu garis keturunan lurus. Pada mulanya, pemilihan dilakukan
dengan cara voting berdiri, berkumpul di hadapan calon yang dietujuinya
yang sudah duduk di hadapan panitia pemilihan, berjarak antara satu
dengan yang lainnya 10 m. Dalam perkembangannya, pemilihan dilakukan
secara rahasia yaitu memasukkan semacam surat suara ke dalam kotak
masing-masing.
Dalam sejarah Marga Tungkal Ulu, nama-nama yang pernah menjabat Pasirah Tungkal Ulu adalah sebagai berikut :
Tabel 2
Nama-nama Pasirah Tungkal Ulu
No. Tahun Nama
1. ….. - 1943 H. Dahlan
2. 1943-1949 MT Fahrudin
2. 1949- 1956 Daeng Ahmad
3. 1956-1964 A Zikwan Thaib
4. 1969-1974 Syafei Maturidi
5. 1974-1979 Adnan Ma’ruf
Sumber ; Syafei Ahmad.
Setelah ditetapkan calon yang memperoleh suara terbanyak, Pasirah
dilantik oleh Residen sebagai pengganti Sultan. Dalam keadaan Marga
Tungkal Ulu, kedudukan Pasirah pada masa itu dapat disepadankan dengan
Wakil Pemerintah Sultan Jambi di Tungkal Ulu.
Tahun sejarah mulainya pemerintahan Marga adalah tahun 1904, ketika
Sultan Taha wafat yang sekaligus merupakan tahun jatuhnya Jambi di bawah
taklukan Belanda dan dimasukkan oleh Belanda dalam Keresidenan
Palembang. Baru pada tahun 1906, Jambi dijadikan satu Residen yang
dipimpin Resident OI Relfricht.
Namun demikian, Pemerintah Hindia Belanda secara resmi mengakui
kedudukan Marga sebagai kesatuan adat yang berbadan hukum baru pada
tahun 1938 melalui IGOB (Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesten)
Stbl 1938 No. 490, Dalam IGOB (Inlandse Gemeente Ordonantie
Buitengewesten) Stbl 1938 no. 490, disebutkan bahwa Marga adalah
kesatuan Pemerintah terendah dengan ketentuan sebagai berikut :
(1) Marga adalah masyarakat Hukum Adat yang berfungsi sebagai kesatuan
wilayah Pemerintahan terdepan dalam rangka Pemerintah Hindia Belanda dan
merupakan Badan Hukum Indonesia ;
(2) Marga berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum
adat. Marga dapat mengadakan pungutan pajak dan mengadakan
ketentuan-ketentuan tentang kerja badan dan cara penebusannya dengan
uang ;
(3) Susunan pemerintah Marga, Kepala Marga dan Kepala kepala Adat
lainnya ditentukan menurut Hukum Adat mengenai pemilihan dan
pengangkatan serta pengesahan atau pengakuan oleh instansi Pemerintah
yang ditunjuk untuk itu ;
(4) Pemerintah Marga didampingi Dewan Marga, yang membuat
peraturan-peraturan dalam rangka kewenangan menurut Hukum Adat.
Peraturan-peraturan Marga harus disahkan oleh instansi atasan sebelum
berlaku dan diumumkan.
(5) Pemerintah Marga dapat menetapkan sanksi atas peraturannya, yaitu
hukuman badan selama-lamanya 3 hari atau denda sebanyak-banyaknya F 10,
(sepuluh gulden).
Bentuk dan struktur pemerintahan Marga ini kelak di kemudian hari
mengilhami para pendiri Republik Indonesia Modern. Sebagaimana
dikemukakan Hamid Attamimi dalam disertasinya berjudul Peranan Keputusan
Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara,
Tan Malaka (1924), Bung Karno (1932) dan Bung Karno (1932) menghendaki
bentuk pemerintahan Indonesia dengan pemerintahan Republik, yang telah
ada dalam wujud Nagari dan Desa. Nagari di Sumatera Barat dan Desa di
Jawa sepadan dengan Marga di Sumatera Selatan dan Jambi.
Selanjutnya Marga difederasikan dalam Teritorial Inlandse Bestuur
(setingkat Kabupaten sekarang tetapi tidak memiliki otonomi sebagaimana
yang dimiliki Marga) atau disebut juga Onder Afgdeling yang dikepalai
seorang Kontroler (Bangsa Belanda). Onder Afdeling membawahi
kewedanaan/Distrik yang dikepalai seorang Demang/Wedana dengan dibantu
seorang asisten Demang/Asisten Wedana (setingkat Camat sekarang) yang
mengepalai suatu Onderdistrik. Perbedaan ketiga kesatuan pemerintah yang
disebut terakhir adalah pada dua hal yaitu :
- Marga adalah bentuk pemerintahan asli oleh masyarakat sedang Onder Afdeling adalah bentukan oleh Pemerintah Hindia Belanda ;
- Marga memiliki otonomi, sedang Onder afdeling sampai onderdistrik semata-mata wilayah administrasi.
Otonomi yang penting bagi pemerintahan marga salah satunya terletak pada
otonomi keuangan. Adapun sumber keuangan Marga sebagaimana diterangkan
Amrah Muslimin adalah :
1. Pajak Marga ;
2. Sewa Lebak Lebung
3. Sewa bumi,
4. Izin mendirikan rumah/bangunan,
5. Hasil Kerikil/pasir,
6. Sewa Los/kalangan,
7. Hasil hutan/bea kayu,
8. Pelayanan kawin,
9. Pas membawa hewan kaki empat besar
10. dan lain-lain.
Dana dari sumber-sumber penghasilan itu dipakai untuk membiayai
urusan-urusan pemerintahan marga antara lain membayar gaji Kepala marga
beserta Pegawainya.
Selain di bidang keuangan, Marga juga mempunyai otonomi untuk :
- kewenangan peradilan,
- kewenangan kepolisian,
- kewenangan hak ulayat.
Oleh karena itu, pada masa ini dikenal sebagai kejayaan ekonomi Tungkal
Ulu. Dengan hasil bumi yang melimpah dan kewenangan untuk mengurus rumah
tangganya sendiri, masyarakat Tungkal Ulu mencapai masa kejayaannya.
Pemerintah Marga mampu membangun balai pengobatan, membangun sekolah,
madrasah, pasar dan sarana perhubungan jalan serta sekaligus menggaji
pegawai Marga yang diangkat oleh Pemerintah.
Pada masa itu, mobil-mobil produksi Eropa mampu dibeli oleh masyarakat.
Bukti-bukti terdapatnya mobil tua hingga kini masih dapat ditemukan
dengan adanya beberapa kerangka sasis mobil di Pelabuhan Dagang. Di
bidang perumahan, masyarakat ketika itu telah mampu membangun rumah
dengan pondasi beton. Bangunan tua itu hingga kini masih dapat ditemukan
di sejumlah desa dalam Kecamatan Tungkal Ulu dan Merlung. Lebih jauh
tentang kejayaan ekonomi ini akan diungkapkan pada bab berikutnya.
Di bidang pendidikan, sebagai dampak Politik Etis Pemerintah Hindia
Belanda, telah pula dibangun sekolah desa 3 (tiga) tahun yang untuk
Onderafdeling Jambi terdapat di 3 (tiga) tempat masing-masing di Muara
Jambi Marga Marosebo, di Rantau Rasau Marga Berbak dan di Penyabungan
Marga Tungkal Ulu. Pada tahun 1932 sekolah tersebut ditutup sebagai
dampak depresi ekonomi (malaise) di seluruh dunia.
Di bidang infrastruktur jalan, pada tahun 1936 pemerintah Kolonial
Belanda telah pula membangun sejumlah jalan yang dapat dilalui mobil.
Barangkali inilah awal terdapatnya hubungan darat antara Tungkal Ulu dan
Jambi, setelah sebelumnya pernah dirintis semasa perjuangan Raden
Mattahir dalam menentang Belanda.
D. Terbentuknya Onderdistrik/Asisten Wedana/Kecamatan Tungkal Ulu
Dengan telah terbentuknya Keresidenan Jambi, pemerintah Hindia Belanda
segera menjalankan pemerintahan dengan membagi Keresidenan Jambi dalam
dua Afdeling yang dikepalai seorang Asisten Residen yang disebut juga
Kontrolir. Di Jambi terdapat dua Afdeling yaitu :
- Afedling Jambi Hilir ;
- Afdeling Jambi Hulu.
Selanjutnya Afdeling Jambi Hilir terdiri dari 3 (tiga) Onder Afdeling
atau Distrik yang dikepalai seorang Demang atau Wedana, yaitu :
- Onder Afedling/Distrik/Kewedanaan Kota Jambi,
- Onder Afdeling/Distrik/Kewedanaan Muara Tembesi
- Onder Afdeling/Distrik/Kewedanaan Kuala Tungkal.
Distrik Kuala Tungkal selanjutnya membawahi dua marga yaitu :
- Marga Tungkal Ilir berkedudukan di Kuala Tungkal,
- Marga Tungkal Ulu berkedudukan di Merlung.
Sementara itu, pada tahun 1922, sebagaimana digambarkan dalam buku
Sejarah Kebangkitan Nasional daerah Jambi, pada tahun 1922 Asisten
Residen jambi Hilir membawahi tiga onderafdeling yaitu Onder afdeling
Kota Jambi, Onderafdeling Muara Tembesi, dan onderafdeling Taman Raja
Tungkal Ulu.
Sampai sejauh itu, belum dapat diketahui apakah Tungkal Ulu juga sudah
berstatus onderdistrik. Berdasarkan catatan A Mukti Nasrudin, pada tahun
1931 untuk kewedanaan/Distrik Kuala Tungkal terdapat 2 (dua) buah
onderdistrik yaitu Onder Distrik Tungkal yang membawahi :
- Marga Tungkal Ulu
- Marga Tungkal Ilir, dan
Onderdistrik Muara Sabak yang membawahi :
- Marga Muara Sabak,
- Marga Dendang,
- Marga Berbak.
Catatan yang terhimpun dalam Buku Tungkal Ulu dalam Angka, menyebutkan
bahwa pejabat setingkat Camat/Asisten Wedana/Kepala Onderdistrik dimulai
pada tahun 1940. Itu artinya 9 (sembilan) tahun dari tahun 1931 barulah
Tungkal Ulu menjadi suatu onderdistrik.
Onderdistrik Muara Sabak mengkoordinir 3 (tiga) marga, maka onderdistrik
Tungkal Ulu dan Onderdistrik Tungkal Ilir hanya memiliki masing-masing 1
(satu) Marga. Kedudukan Asisten Wedana Tungkal Ilir adalah di Kuala
Tungkal sama dengan kedudukan Wedana Pasirah. Sedangkan kedudukan
Asisten Wedana Tungkal Ulu adalah di Pelabuhan Dagang, bukan di Merlung.
Salah satu alasan yang mungkin dapat dikemukakan adalah bahwa Pelabuhan
Dagang terletak lebih di Ilir Sungai Pengabuan, sehingga lebih mudah
dicapai oleh Pemerintah Belanda dari Kuala Tungkal. Kala itu, hubungan
lalu lintas yang paling cepat dicapai adalah melalui sungai.
Adapun nama-nama pejabat yang pernah menjabat jabatan Assiten
Wedana/Camat Tungkal Ulu sejak pertama sampai sekarang adalah seperti
tergambar dalam tabel berikut :
Tabel 3
Nama-nama Camat Tungkal Ulu
No. Tahun Nama
1. 1940 s/d 1945 Zakaria
2. 1945 s/d 1946 Abdul Muhib
3. 1946 s/d 1947 Maksum Siregar
4. 1947 s/d 1950 Anang Machri
5. 1950 s/d 1952 Maksum Siregar
6. 1952 s/d 1953 Moh. Zein
7. 1953 s/d 1955 Abdul Hamid
8. 1955 s/d 1957 H Syamsudin
9. 1957 s/d 1958 Raden Nateng
10. 1958 s/d 1960 Kemas Zainal Abidin Dencik
11. 1960 s/d 1963 A. Yani
12. 1963 s/d 1966 Kemas Saman
13. 1966 s/d 1969 Hasan Imron
14. 1969 s/d 1970 Syaefudin Sani, BA
15. 1970 s/d 1972 Zainal Abidin, BA
16. 1972 s/d 1974 M. Ali Yacob, BA
17. 1974 s/d 1976 Ilyas Hasan, BA
18. 1976 s/d 1983 Syamsir Nurdin, BA
19. 1983 s/d 1984 Muchtar Muis, BA
20. 1984 s/d 1988 A Gafar Masdar, BA
21. 1988 s/d 1991 A Khalik Rahman, BA
22. 1991 s/d 1994 Drs. Sudirman Jusia
23. 1994 s/d 1996 Ismail Sofi, BA
24. 1996 s/d 1998 Drs. Lazwardi. AN
25. 1998 s/d 2001 Drs. Raden Erwansyah
26. 2001 s/d 2005 Edward, BA
27. 2005 Drs. Iswardi
Sumber : Tungkal Ulu dalam Angka
D. Masa Revolusi Fisik sampai Terbentuknya Propinsi Sumatera Tengah
Setelah terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia di Jakarta,
pemerintah segera melakukan restrukturisasi atas pemerintahan di daerah.
Sumatera menjadi satu propinsi dengan Gubernur Tengku Moh. Hasan. 10
(sepuluh) keresidenan di Pulau Sumatera tetap dipertahankan dengan
menunjuk pejabat Residen yang baru. Residen Jambi yang pertama adalah
Dokter Sagaf Yahya yang kemudian digantikan oleh Raden Inu Kertapati.
Pada tanggal 28 s/d 31 Mei 1946, diadakan Musyawarah Komite Nasional
Indonesia se daerah Jambi yang dihadiri oleh 2 (dua) orang utusan dari
tiap Kewedanaan. Pertemuan ini menghasilkan keputusan membentuk dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Keresidenan Jambi dengan anggota sebagai mana
tertuang dalam tabel berikut :
Tabel 4
Nama-nama Anggota DPR Keresidenan Jambi Berdasarkan Kewedanaan
No. Nama Kewedanaan
1. Dr. Syahrial Usman Muara Tebo
2. KH. Abu Bakar Muara Tebo
3. H. Mohd. Daud Muara Tebo
4. H. Hanafi Muara Bungo
5. H. Ahmad Muara Bungo
6. M. Ali Muara Bungo
7. M. Saidi Bangko
8. Abi Hasan Bangko
9. Ibrahim Bangko
10. Syamsu Bahrun Sarolangun
11. Ahmad Syarnubi Sarolangun
12. A Madjid Batu Muara Tembesi
13. M. Tajib Muara tembesi
14. AM. Umar Muara Tembesi
15. M.Salim Hasan Kuala Tungkal
16. M Tayib Fahrudin Tungkal Ulu
17. St. Mulia Muara Sabak
18. Jangcik Jambi
19. A Chalik Sulaiman Jambi
20. R Sudarsono Bajubang
21 Ny Habsah Arbain Jambi
22. A Chatab Jambi
23. F Saleh Jambi
24. H. Ali Hamzah Jambi
25. Moh. Djakfar Jalil Jambi
26. Jusuf Helmi Jambi
27. Rd Hamzah Jambi
Sumber : SKM Mediator Edisi 19-24 Agustus 2004
Dari 27 orang tersebut terdapat nama MT Fahrudin, Pasirah Marga Tungkal
Ulu pada masa itu mewakili Tungkal Ulu, padahal pada waktu itu Tungkal
Ulu masih merupakan salah satu Marga dalam kewedanaan Kuala Tungkal. Itu
berarti bahwa, masing-masing Marga dalam kewedanaan Kuala Tungkal
mengutus 1 (satu) orang wakilnya untuk duduk sebagai anggota DPR
Keresidenan Jambi.
Hal yang juga yang dilakukan oleh Rd Inu Kertapati selain menata
pemerintahan adalah membentuk Tentara Keamanan Rakyat Teritorial Jambi
dengan Komandannya Kol. Abunjani. Selanjutnya dibentuk Brigade Garuda
Putih dengan komandan Kol. Abunjani, yang membawahi empat Batalyon.
Salah satu Batalyonnya adalah Batalyon I yang berkedudukan di Kuala
tungkal dengan komandan Letkol Harun Sohar yang kelak menjadi Panglima
Kodam Sriwijaya.
Sebagai sebuah daerah pedalaman sungai dimana hubungan darat belum
lancar seperti sekarang ini, maka Tungkal Ulu bukanlah tempat yang
terlalu penting bagi Belanda untuk diduduki. Keadaan ini berbeda dengan
ketika pertamakali Belanda masuk Jambi karena ketika itu Kuala Tungkal
belum seramai saat revolusi fisik. Penguasaan atas Tungkal Ulu menjadi
penting bagi Belanda karena itu dapat menjadi pintu masuk ke Sungai
Bengkal dan Muara Tebo.
Dalam papernya, A Mukti Nasrudin menggambarkan keadaan serangan tentara
Belanda atas kedudukan TNI di Kuala Tungkal pada tanggal 23 Desember
1948, Tungkal Ulu dijadikan basis TNI khususnya Batalyon Gatotkaca.
Kejadian penting sekitar mempertahankan kemerdekaan di Tungkal Ulu
adalah pada tanggal 6 Mei 1949, Merlung diserang dari udara dengan dua
buah bomber. Bom pertama meledak dan menghancurkan rumah Pasirah MT
Fahrudin. Pesawat tempur Belanda yang membawa 17 buah bom tidak semuanya
diledakkan, dan sebagian jatuh ke Sungai Pengabuan. Dalam serangan
tersebut, Aida anak Pasirah MT Fahrudin dan Amir Latif tewas dan
dimakamkan sebagai bunga bangsa.
Dalam bidang pemerintahan, berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun 1948,
Keresidenan Jambi bersama Keresidenan Riau dan Sumatera Barat
digabungkan dalam satu Propinsi Sumatera Tengah. Struktur Pemerintahan
Dalam Propinsi Sumatera Tengah terdiri dari 3 (tiga) keresidenan.
Sedangkan Keresidenan Jambi terdiri dari 2 (dua) kabupaten yaitu
Kabupaten Merangin dan Kabupaten Batanghari.
Selanjutnya, Kabupaten Batanghari dengan ibukota di Jambi terdiri dari 3
(tiga) Kewedanaan yaitu Kewedanaan Muara Tembesi, Kewedanaan Kuala
Tungkal dan Kewedanaan Muara Sabak. Kewedanaan Kuala Tungkal terdiri
dari 2 (dua) kecamatan yaitu : Kecamatan Tungkal Ulu dan Kecamatan
Tungkal Ilir.
Dalam versi lain, disebutkan bahwa kewedanaan dalam Kabupaten Batanghari terdiri dari :
- Kewedanaan Tengubuan berkedudukan di Kuala Tungkal,
- Kewedanaan Sabak berkedudukan di Muara Sabak,
- Kewedanaan Kumpeh berkedudukan di Arang-arang,
- Kewedanaan Tembesi berkedudukan di Muara Tembesi
Adapun dusun-dusun yang terdapat dalam Kecamatan Tungkal Ulu adalah sama
dengan dusun yang terdapat dalam Marga Tungkal Ulu yaitu :
1. Pelabuhan Dagang
2. Pematang Pauh
3. Tanjung Tayas
4. Badang
5. Suban
6. Dusun Kebon
7. Tanjung Bojo
8. Kampung Baru
9. Lubuk Bernai
10. Taman Raja
11. Tebing Tinggi
12. Merlung
13. Penyabungan
14. Lubuk Terap
15. Rantau Benar
16. Pulau Pauh
17. Sungai Rotan
18. Lubuk Kambing
19. Tanjung Paku
20. Dusun Mudo
21. Rantau Badak
22. Kuala Dasal
Pelabuhan Dagang sebagai ibukota Kecamatan Tungkal Ulu dan Taman Raja
yang ketika itu bernama Pekan pada masa tersebut merupakan pelabuhan
atau pasar penting di daerah aliran Sungai Pengabuan. Sebuah peta yang
diterbitkan pada tahun 1932 menunjukkan lokasi Taman Raja sebagai dua
tempat yang sama dengan Kuala Tungkal sebagai tempat yang penting. Saksi
sejarah menggambarkan bahwa di Pelabuhan Dagang ketika itu telah
berdiri toko-toko dan kedai kopi. Di antara para pedagang tersebut
terdapat pula beberapa orang keturunan China. Sebuah pekuburan umum
orang-orang China di Pelabuhan Dagang menjadi saksi kejayaan Pelabuhan
Dagang tempo dulu.
Walaupun Kecamatan Tungkal Ulu berada di bawah kewedanaan Kuala Tungkal,
perhubungan dengan Kuala Tungkal hanya dilakukan dalam bidang
perdagangan. Dalam bidang pemerintahan, perhubungan yang terjadi lebih
banyak dilakukan antara Pelabuhan Dagang Jambi dan Merlung Jambi. Hal
ini dikarenakan hubungan Marga dan Kecamatan memang berada di bawah
Kabupaten. Peranan kewedanaan tidak lebih dari sekedar perpanjangan
tangan Pemerintah Kabupaten semacam Pembantu Bupati di zaman
Pemerintahan Orde Baru.
E. Dalam Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Propinsi Jambi Sampai Dihapuskannya Pemerintahan Marga
Pada tahun 1957, melalui Undang-undang Darurat No. 19 Tahun 1957
Propinsi Sumatera Tengah dipecah menjadi 3 (tiga) propinsi yaitu
Propinsi Jambi, Riau dan Sumatera Barat. Karena itu, hari lahir Propinsi
Jambi diperingati pada tanggal 6 Januari 1957. Pemerintahan ketiga
propinsi baru ini baru efektif dimulai pada tahun 1958 dengan keluarnya
UU No. 61 Tahun 1958. Karenanya, Propinsi Riau dan Sumatera Barat
memperingati hari jadinya pada tanggal 2 Juli 1958.
Propinsi Jambi yang baru berdiri itu terdiri dari 3 (tiga) Kabupaten
yaitu 2 (dua) Kabupaten dalam Keresidenan Jambi yakni Kabupaten
Batanghari dan Kabupaten Merangin ditambah 1 (satu) Kabupaten Kerinci.
Marga dan Kecamatan Tungkal Ulu sebagaimana sebelumnya berada dalam
Kabupaten Batanghari.
Bersamaan dengan berdirnya Propinsi Jambi, telah pula dibangun jalan
dari Merlung ke Jambi pada tahun 1959. Pengguntingan pita sebagai
peresmian jalan tersebut dilakukan oleh Panglima Kodam Sriwijaya Mayjen
Harun Sohar sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa rakyat Merlung
khususnya dan Tungkal Ulu umumnya dalam pembelaan terhadap bangsa di
masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan.
Sebagai akibat terbentuknya Propinsi Jambi dilakukan pula pemekaran
Kabupaten. Kabupaten Batanghari dipecah menjadi 3 (tiga) yaitu :
- Kotapraja Jambi
- Kabupaten Batanghari dengan ibukota di Kenali Asam
- Kabupaten Tanjung Jabung dengan ibukota di Kuala Tungkal.
Kabupaten tanjung Jabung yang baru berdiri ini terdiri dari empat
kecamatan yaitu, Kecamatan tungkal Ilir, Kecamatan Tungkal Ulu,
Kecamatan Muara Sabak dan Kecamatan Nipah Panjang.
Bagi Tungkal Ulu, tidak banyak yang berubah dengan terbentuknya
Kabupaten Tanjung Jabung diresmikan dengan Undang-undang No. 7 tahun
1965 pada tanggal 14 Juni 1965. Yang berubah adalah kedudukan ibukota
Propinsi dari Bukittinggi menjadi Jambi dan kedudukan ibukota Kabupaten
dari Jambi menjadi Kuala Tungkal. Karena hubungan darat yang sulit
antara Tungkal Ulu dan Jambi saat itu, pembentukan Kabupaten dengan
perpindahan ibukota terasa menguntungkan.
Dengan berubahnya pusat pemerintahan Kabupaten, perhubungan darat antara
Tungkal Ulu dengan Jambi menjadi ditinggalkan. Perhubungan melalui
Sungai Pengabuan menjadi sangat penting dan ramai, walaupun jarak tempuh
melalui sungai dengan menggunakan kapal motor pompong memakan waktu dua
malam satu hari. Perhubungan ke Jambi pun ditempuh melalui jalur laut
dari Kuala Tungkal-Kampung Laut-Jambi. Hanya sebagian kecil saja
masyarakat yang menggunakan jalur darat Jambi-Merlung untuk mencapai
Jambi. Jalan darat yang semula dibangun Pemerintah ini terpelihara
dengan kondisi terbatas karena digunakan oleh Perusahaan Perkayuan
seperti Tanjung Jati, Budiman dan Heeching Timber Industry.
Dengan waktu tempuh yang lama, ditambah menurunnya kwalitas dan
kwantitas produksi karet di Tungkal Ulu, Tungkal Ulu menjadi makin
ditinggalkan. Lengkaplah kesengsaraan dan keterbelakangan yang dialami
masyarakat ketika itu, sudah miskin terisolasi pula.
Kepayahan ini makin bertambah parah ketika Pemerintah Pusat mengeluarkan
Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang serta
merta menghapuskan Pemerintahan Marga, setelah sebelumnya pada tahun
1951, Pemerintah melalui Undang-undang Darurat Tahun 1951 menghapuskan
segala bentuk Peradilan Adat termasuk Peradilan Adat Marga.
Wewenang pengangkatan dan penggajian pegawai dialihkan menjadi wewenang
Pemerintah Kabupaten. Akibatnya, banyak instansi pemerintah yang
kekurangan tenaga, karena banyak pegawai tidak mau ditempatlkan di
Tungkal Ulu, karena selain jauh dianggap terkebelakang. Orang dari luar
Tungkal Ulu dihinggapi semacam phobia Tungkal Ulu. Dikatakan masyarakat
Tungkal Ulu penuh magis dan mampu membunuh orang dengan racun. Sekolah
menjadi kekurangan guru, balai pengobatan kekurangan tenaga, dan
lain-lain sebagainya.
Maksud sebenarnya yang terkandung dari Undang-undang No. 5 Tahun 1979
adalah menyeragamkan bentuk kesatuan masyarakat terkecil dalam nama Desa
sebagaimana yang terdapat di Jawa. Itu artinya, Marga otomatis berubah
menjadi Desa dengan struktur pemerintahan ke bawah tetap. Namun, satu
kesalahan besar terlanjur dilakukan oleh Pemerintah Daerah Jambi ketika
itu dengan mengubah status dusun yang merupakan bagian dari Marga
menjadi Desa. Sebagai akibat dari kebijakan ini, di Tungkal Ulu dari
satu Marga berubah menjadi 22 Desa dalam wilayah Kecamatan Tungkal Ulu.
Hal yang sama juga terjadi di Sumatera Selatan, Dalam pandangan Prof
Amrah Muslimin, jalan pikiran itu diambil oleh Pemerintah daerah dapat
menambah untung daerah dalam hal penerimaan setiap tahun dana banpres
yang dihitung berdasarkan jumlah Desa.
Dengan keadaan itu, memang terjadi penambahan jumlah Desa di Tungkal
Ulu, tetapi hal tersebut sekaligus juga membuat miskin Desa-desa yang
semula hanya berstatus Dusun di bawah Marga. Keadaan ini terus
berlangsung sampai saatnya Tungkal Ulu dewasa ini dijadikan pusat
perkebunan sawit.
F. Pemekaran Kecamatan Tungkal Ulu
Satu hal penting yang merupakan awal dari terbukanya keterisolasian
Tungkal Ulu adalah ketika di Tungkal Ulu tepatnya di Taman Raja
didirikan base camp perusahaan plywood PT Sumatera Timber Utama Damai
(STUD). PT STUD melakukan pelebaran jalan untuk kepentingan perusahaan,
tetapi dampaknya dapat dirasakan juga oleh penduduk. Dengan membaiknya
kondisi jalan darat, perlahan-lahan produksi karet mulai dijual ke
Jambi.
Pada tahun 1984, Pemerintah memulai proyek besar yaitu membangun Jalan
Lintas Timur Sumatera, khususnya rute Jambi Pekanbaru yang melewati
darerah Tungkal Ulu. Seiring dengan dimulainya proyek tersebut,
Pemerintah Propinsi Jambi yang ketika itu dipimpin Gubernur Masjchun
Sofwan bersama Bupati Tanjung Jabung Selamat Barus terinspirasi
membangun jalan darat Jambi Kuala Tungkal.
Perlahan tapi pasti, Tungkal Ulu makin terbuka dari keterisolasian.
Sudah mulai ada mobil penumpang umum yang membawa penumpang Pelabuhan
Dagang-Jambi. Dengan kondisi jalan tanah, mobil terpaksa bermalam di
jalan jika hujan. Waktu tempuh normal Jambi Pelabuhan Dagang ketika itu
adalah 5 (lima) jam.
Selanjutnya, pada tahun 1985, berdasarkanSurat mendari Nomor
138/1589/PUOD Tanggal 25 April 1985 dan SK Gubernur KDH Tingkat I Jambi
No. 233 Tahun 1985 tanggal 22 Juli 1985, Pemerintah Propinsi Jambi
melakukan pemekaran kecamatan. Di Tungkal Ulu, Merlung dibentuk menjadi
satu perwakilan kecamatan dengan Kepala Perwakilan Kecamatan yang
pertama Edward, BA.. Kecamatan Merlung terdiri dari 10 desa dan Tungkal
Ulu 12 desa/kelurahan.
Sungguhpun demikian, semuanya itu seperti jalan di tempat. Proyek
Pembangunan Jalan Lintas Timur Sumatera baru selesai tahun 1991, dan
Perwakilan Kecamatan Merlung baru resmi menjadi Kecamatan pada tahun
2000 melalui Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2000. Pada saat diresmikan
sebagai kecamatan defenitif, Merlung memiliki 19 desa atau bertambah 9
dari desa semula saat dibentuk sebagai kecamatan perwakilan, sedangkan
desa di KecamatanTungkal Ulu saat ini berjumlah 14 atau bertambah 2 dari
saat pemekaran dengan Kec. Merlung. Sampai hari ini, nama-nama yang
pernah menjabat Kepala Perwakilan Kecamatan/Camat di Kec. Merlung adalah
:
Tabel 5
Nama-nama Kepala perw.Kecamatan/Camat Merlung
No. Tahun Nama
1. 1985 s/d 1990 Edward, BA
2. 1990 s/d 1994 Drs. Abdurrahman
3. 1994 Drs. Moh. Ali
4. 1994 s/d 1996 Drs. Lazwardi. AN
5. 1996 s/d 1998 Drs. R. Erwansyah
6. 1998 s/d 2000 Drs. Endang Surya
7. 2000 s/d 2001 Drs. Encep Jarkasih
8. 2001 s/d 2003 Drs. Kosasih
9. 2003 s/d 2005 Mudiarman
10. 2005 Samsul Kurnanin, BA
Sumber : Kecamatan Merlung dalam Angka, BPS Kab. Tanjab Barat
Dewasa ini, wilayah Tungkal Ulu sekarang resmi terdiri dari 2 kecamatan
yaitu Kecamatan Merlung dan kecamatan Tungkal Ulu. Seiring dengan makin
terbukanya akses transportasi melalui Jalan Lintas Timur Sumatera,
Tungkal Ulu seakan menjadi primadona bagi investor untuk menanamkan
modalnya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka pada tahun 1994
berdiri pabrik pengolahan kertas dan pulp di Desa Tebing Tinggi Tungkal
Ulu menyusul hadirnya perusahaan-perusahaan yang telah dulu ada di
Tungkal Ulu. Sejalan dengan itu, terjadi pertumbuhan penduduk mencapai
angka 7,2 di wilayah Kecamatan Tungkal Ulu.
Seiring dengan bergulirnya reformasi, di bidang pemerintahan daerah
dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1999, yang memungkinkan adanya pemekaran
kabupaten. Dalam Propinsi Jambi, pada tahun itu juga dilakukan pemekaran
Kabupaten dari 5 kabupaten menjadi 9 kabupaten. Kabupaten Tanjung
Jabung dibagi dua menjadi Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang beribukota
di Muara Sabak dan Kabupaten Tanjung Barat dengan ibukota Kuala Tungkal
berdasarkan UU No. 54 Tahun 1999 tanggal 4 Oktober 1999.
Dengan terpisahnya daerah eks kewedanaan Muara Sabak dengan eks
kewedanaan Kuala Tungkal, semestinya nama kabupaten yang beribukota di
Kuala Tungkal tidak lagi tepat memakai nama Tanjung Jabung, karena
Tanjung Jabung yang sebenarnya berada dalam wilayah eks kewedanaan Muara
Sabak yang kini bernama Tanjung Jabung Timur. Nama yang tepat untuk
kabupaten eks kewedanaan Kuala Tungkal adalah “Kabupaten Tungkal”.
Terlepas dari soal nama, pemisahan Kabupaten menjadi dua dirasakan
sangat bermanfaat bagi masyarakat Tungkal Ulu. Wilayah pelayanan publik
dan jangkauan kendali pemerintahan menjadi lebih terfokus. Dengan
sendirinya, prioritas pembangunan menjadi lebih terarah kepada
kepentingan masyarakat. Wilayah Tanjung Jabung Barat menjadi wilayah
yang komplet karena memiliki wilayah laut sekaligus darat sampai
berbukit-bukit.
Satu-satunya kabupaten di Propinsi Jambi yang memiliki sekaligus dua
bentuk alam yang berbeda adalah Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Konsekwensinya adalah bahwa ternyata Kabupaten Tanjung Jabung Barat
memiliki akses perhubungan laut melalui Pelabuhan Kuala Tungkal
sekaligus akses hubungan darat melalui Jalan Negara Lintas Timur
Sumatera yang terbentang di wilayah Kecamatan Merlung dan Tungkal Ulu.
Perbedaan keadaan alam antara kedua wilayah dalam Kabupaten Tanjung
Jabung Barat yang bertolak belakang satu sama lain antara wilayah eks
Marga Tungkal Ilir dengan eks Marga Tungkal Ulu memberi warna tersendiri
bagi pengelolaan kekayaan alam di kedua wilayah. Jika Tungkal Ilir
dijadikan sentra produksi kelapa dan padi, Tungkal Ulu dijadikan sentra
perkebunan sawit dan karet.
Namun ironisnya, potensi yang dimiliki kedua wilayah seakan terpisah
satu sama lainnya, seolah-olah berdiri pada masing-masing posisi.
Hubungan melalui sungai yang tidak mungkin lagi dipertahankan ternyata
tidak diikuti dengan pembangunan akses melalui darat. Saat ini,
perjalanan darat dari Merlung dan Pelabuhan Dagang menuju Kuala Tungkal
harus ditempuh dalam tempo yang lebih lama daripada hubungan menuju
Jambi dan harus melalui wilayah 2 (dua) kabupaten tetangga yaitu
Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Satu-satunya
akses melalui perhubungan darat yang lebih cepat hanya dapat dilalui
melewati jalan tembus Simpang Abadi-Sungai Tapah, Kuala Dasal-Pelabuhan
Dagang, yang sampai hari ini dibiarkan menjadi jalan tanah tanpa
terlihat ada upaya nyata untuk melakukan pengaspalan jalan oleh
Pemerintah Daerah.
Di sisi lain, sebagai konsekwensi bertambah pesatnya pertumbuhan
penduduk, maka pada tahun 2004 diresmikan Markas Kepolisian Sektor
Tebing Tinggi. Ini merupakan awal diresmikannya Tebing Tinggi menjadi
kecamatan ketiga dalam wilayah Tungkal Ulu.
G. Kesimpulan Sejarah
Akhirnya, sebagai penutup dari bab ini, berdasarkan sumber-sumber dan
uraian-uraian di atas dapatlah kita peroleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Nama Tungkal yang kita kenal sekarang berasal dari Kuntala yang
berubah berdasarkan transliterasi China menjadi Tungkal, yaitu kerajaan
yang berdiri di pantai timur Sumatera kira-kira tahun 456-464.
Tahun-tahun berikutnya Kerajaan Kuntala tunduk pada Melayu, Sriwijaya,
Singosari dan Majapahit. Namun demikian, tahun 1368 nama Kuntala muncul
kembali dalam berita China.
2. Lokasi ibukota Kerajaan Kuntala diperkirakan di Daerah Taman Raja
sekarang, karena Kuala Sungai Pengabuan/Tungkal dulu adalah di sekitar
Taman Raja, sebelum terjadinya pendangkalan laut yang menyebabkan
daratan menjadi lebih luas seperti yang kita kenal sekarang. Sumber
sejarah China menyebutkan bahwa di kuala sungai Pengabuan terdapat Teluk
Wen, yaitu teluk yang berada antara Kuntala dan Chan-Pei (Jambi) atau
Malayu.
3. Sekitar tahun 1400 atau abad ke-15, orang-orang Pagaruyung yang telah
memeluk Agama Islam datang ke Tungkal melalui Retih dan Kuantan, Riau,
dan menemukan sekelompok masyarakat peninggalan kejayaan Kerajaan
Kuntala. Mereka berbaur dan mendirikan pemerintahan dengan mengacu
kepada bentuk pemerintahan di Minangkabau dengan beberapa pengecualian
dengan Datuk Malin Andiko sebagai kepala pemerintahan.
4. Tungkal didatangi orang Johor, sampai kemudian Tungkal menjadi daerah taklukan yang wajib mengirim upeti kepada Sultan Johor.
5. Sebelum Tahun 1512-1515, Sultan Johor membebaskan Tungkal dari
kewajiban membayar upeti atas kecerdasan Lamsasti, seorang anak yang
ditemukan Datuk Malim Andiko dalam perahu yang terapung-apung.
Diperkirakan, keputusan tersebut didorong oleh kenyataan bahwa Lamsasti
adalah anak Sultan Johor dan adanya kemungkinan bahwa saat itu Johor
sudah dibawah pengaruh Malaka, yang ketika itu menjadi pelabuhan dan
kerajaan dagang terpenting di Selat Malaka.
6. Tahun 1512-1515, Tungkal menjadi negeri sendiri tetapi tidak
mempunyai raja, yang berada dalam pengaruh Johor. Nama Tungkal disebut
sebagai salah satu bangsa yang telah melakukan perdagangan di Malaka.
7. Tahun 1516 sampai seterusnya, diperkirakan Tungkal berada dalam
pengaruh Sultan Jambi. Sejarah Jambi mencatat tahun 1630 sebagai tahun
dimana Sultan Jambi menolak menyerahkan Tungkal kepada Malaka.
8. Antara Tahun 1855 s/d 1881 di masa pemerintahan Sultan Ahmad
Nazarudin di Jambi, Tungkal berada di bawah kesultanan Jambi dan
diangkat pejabat pemerintah Kesultanan di Tungkal. Pada masa itu pula
Sultan Jambi memerintahkan Mantri Berangas untuk membuka daerah Tungkal
Ilir sekarang menjadi pemukiman penduduk, setelah sebelumnya Tungkal
wilayah Ilir telah pula dihuni Suku Melayu asal Brunai.
9. Tahun 1904, Jambi resmi menjadi jajahan Belanda, sejak saat itu
dengan sendirinya Tungkal menjadi jajahan Belanda. Saat inilah yang
diperkirakan mnucul pertamakalinya istilah Tungkal Ulu dan Tungkal Ilir
untuk membedakan daerah ilir dan ulu berkaitan dengan pembentukan Marga.
Tahun-tahun sejarah Tungkal Ulu tersebut dapat digambarkan dalam urut-urutan sebagaimana tergambar dalam tabel berikut :
Tabel 6
Urut-urutan Sejarah Tungkal
Perkiraan Tahun Peristiwa
456 s/d 464 Berdiri Kerajaan Kuntala atau Kandoli
464 s/d abad ke-14 Kerajaan Kuntala takluk di bawah Kerajaan lainnya, seperti Melayu, Sriwijaya, Singosari dan Majapahit
Tahun 1368 Berita tentang Kuntala muncul lagi dalam Sejarah Cina
Th 1400/Abad ke-15 Orang Minangkabau memasuki wilayah Tungkal dan berbaur dengan masyarakat peninggalan Kerajaan Kuntala
Tahun 1500 Orang Minangkabau bersama penduduk sebelumnya membentuk suatu
pemerintahan sendiri, yang takluk di bawah Kesultanan Johor.
Tahun 1512-1515 Tungkal dibebaskan dari taklukan Johor dan menjadi
negeri yang memerintah sendiri tetapi tidak berbentuk kerajaan, namun
berada dalam pengaruh Malaka.
Tahun 1600 s/d 1630 Diperkirakan Tungkal menjadi wilayah yang berada di bawah pengaruh Kesultanan Jambi
Tahun 1630 Jambi menolak menyerahkan Tungkal kepada Malaka.
Tahun 1855 s/d 1881 Sultan Jambi menunjuk wakilnya untuk memerintah di Tungkal
Tahun 1881 s/d 1904 Menjadi bagian utuh dari Kesultanan Jambi
Tahun 1904 s/d 1942 Di bawah Kekuasaan Kolonial Belanda
Tahun 1942 s/d 1945 Di bawah Pendudukan Jepang
Tahun 1945 s/d 1948 Dalam wilayah Kab. Batanghari Prop. Sumatera
Tahun 1948 s/d 1957 Dalam wilayah Kab. Batanghari Propinsi Sumatera Tengah
Tahun 1957 s/d 1965 Dalam wilayah Kabupaten Batanghari Propinsi Jambi
Tahun 1965 s/d 1999 Dalam wilayah Kabupaten Tanjung Jabung
Th 1999 s/d sekarang Dalam wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Sumber : Data Pembka Tanjabbar
Sumber : Data Pembka Tanjabbar