Menginjak hampir tiga bulan saya di Jepang, pelan-pelan saya mulai mengenali kebiasaan-kebiasaan orang sini. Meskipun pada awalnya kebiasaan itu dirasa cukup “bertentangan” dengan kebiasaan orang Indonesia kebanyakan, tapi akhirnya saya memakluminya juga. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Bagaimanapun juga, saya harus bisa memahami kebiasaan-kebiasaan mereka. Sampai sejauh ini, ada beberapa kebiasaan orang Jepang yang menurut rizaldp.wordpress.com menarik untuk diketahui.
1. Mempertahankan bahasa lokal
Ada yang menarik dari kebiasaan ini. Konon, kabarnya orang Jepang memiliki kemampuan bahasa Inggris yang buruk, jadi mereka kerap berbicara dengan bahasa Jepang, sekalipun itu terhadap orang asing. Pernah pada suatu waktu, meskipun mereka tahu bahwa saya orang asing, mereka tetap menggunakan bahasa Jepang ketika memulai percakapan. Alhasil, saya hanya bisa bengong-bengong saja. Ketika saya bilang tidak mengerti, mereka tetap mencoba meyakinkan, dengan tetap menggunakan bahasa Jepang.
Begitu juga ketika di supermarket dan tempat-tempat umum lainnya. Setiap kali orang Jepang bertanya dan berkomunikasi, seringkali mereka menggunakan bahasa Jepang. Apa mereka tidak tahu bahwa saya ini orang asing? Bahwa bahasa Jepang bukanlah bahasa Ibu saya. Jadi, meskipun kepada orang asing, orang Jepang kebanyakan tetap menggunakan bahasa lokal mereka.
Menurut yang saya amati, orang Indonesia beda lagi. Meskipun kurang paham bahasa Inggris, tapi orang Indo tetap berusaha berbicara bahasa Inggris kepada orang asing, meskipun itu terbata-bata. Saya teringat ketika di Bromo dulu, pernah ada supir Elf yang berani berbicara bahasa Inggris kepada turis. Setidaknya, kita bisa menghargai bahasa yang mereka pergunakan. Ini menandakan bahwa orang Indonesia sangat terbuka kepada orang asing.
Selama saya kuliah disini, saya juga intensif mengikuti kursus bahasa Jepang (fasilitas kampus). Saya sempat berpikir bahwa setiap orang asing (status sebagai student, entah jika statusnya lain) yang masuk Jepang, rata-rata diajarkan bahasa Jepang. Jadi, orang asing tersebut seperti di-”naturalisasi” dan harus bisa berbahasa Jepang. Sedangkan di Indo, saya tidak tahu apakah setiap mahasiswa asing diberi fasilitas juga untuk belajar bahasa Indonesia? Atau, orang Indo yang katanya sangat ramah, jadi biarlah yang berlelah-lelah belajar bahasa Inggris?
2. Santun
Benarkah orang Indonesia itu santun-santun? Saya sangsi karena saya tidak diberi jalan saat akan menyeberang, saya ragu karena ketika jalanan macet tidak ada yang mau mengalah. Tapi, selama di Jepang, saya benar-benar merasakan kesantunan itu. Menyeberang jalan dengan rasa aman karena tahu mobil tidak akan mendahului sepeda. Mobil tidak akan mendahului sepeda motor, sepeda motor mengalah pada pesepeda, dan pesepeda takluk pada pejalan kaki. Ya, pejalan kaki adalah raja jalanan!
Saya pernah ketika akan menyebrang, ada mobil yang menunggu di depan saya. Tak tahunya, ternyata dia menunggu saya menyeberang terlebih dulu. Tapi, karena sedang menunggu, saya persilakan mobil itu untuk lewat duluan. Dan … orang dalam mobil itu langsung memanggutkan kepalanya tanda sangat berterimakasih. Luar biasa kesantunan yang saya rasakan. Bahkan, ketika saya lewat di depan orang yang sedang mencabut rumput, orang itu mengucapkan maaf setelah saya bilang permisi. Mungkin dia merasa telah menghalangi jalan orang lain. Entahlah, yang saya dengar hanyalah omelan ketika ini saya lakukan di Indonesia.
Di sini, membunyikan klakson adalah pertanda bahaya. Klakson hanya dibunyikan pada saat-saat genting, di luar itu tidak boleh membunyikan klakson. Makanya, suasana jalanan tidak berisik.
3. Gemar olahraga
Ini juga membuat saya salut. Betapa tidak, saat pulang dari kampus sekitar jam 19.30 JST, saya berpapasan dengan orang Jepang yang sedang jogging. Padahal, cuaca saat itu sedang dingin dan saya pikir paling enak kalau diam di rumah. Dan, sebagai orang Indo, tentu saja saya merasa “aneh” dengan kebiasaan olahraga malam-malam ini. Masih mending jika olahraga futsal atau yang dilakukan secara tim. Tapi, kalau dilakukan sendirian dan malam-malam, rasanya “aneh”. Dan ini merupakan kebiasaan orang Jepang yang harus saya maklumi.
Dan kemana-mana, cukup banyak juga mahasiswa Jepang yang suka memakai celana training. Entahlah, apa dia sehabis olahraga atau tidak. Bahkan, ketika di kelas pun, ada saja yang memakai celana training. Entah apakah ada hubungan antara celana training mereka dan olahraga. Memang orang Jepang tidak suka jika tidak bergerak. Bahkan, orang tua pun gemar berolahraga. Saya sering melihat para orang tua yang suka mengajak jalan-jalan anjing mereka ke taman-taman. Maka, jangan heran jika kita bertanya kepada mereka siapa saja anggota keluarganya, mereka akan menghitung anjing-anjing mereka.
Dan fakta menarik, olahraga yang paling beken di Jepang adalah baseball. Itulah mengapa, jika di kartun-kartun, olahraga yang sering dijadikan figuran adalah baseball. Masih ingat tayangan Doraemon? masih ingat ketika Giant selalu mengajak main baseball kepada Nobita dan Suneo? Dan bagi orang Indonesia, baseball bukanlah hal yang umum. Orang Indonesia lebih familiar dengan sepakbola dan badminton, benar?
Mensana in corpore sano. Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Mungkin bangsa Jepang menjadi disegani karena mereka memiliki ketangguhan SDM-nya. Dan jangan kita remehkan, olahraga bisa menjadi titik awal. Bukankah Rasulullah saw juga telah bersabda bahwa muslim yang kuat lebih dicintai daripada muslim yang lemah? Dan Rasulullah saw telah mengajarkan kita berolahraga dengan memanah, berenang, dan menunggang kuda? Jepang bukanlah negara muslim, tapi mereka paham betul akan kesehatan jasmani ini.
4. Tidak suka basah
Tidak suka basah dalam artian ketika sedang di kamar kecil. Setiap kamar kecil sepertinya sudah memiliki grand-design nya. Didesain dengan konsep kering dan serba otomatis. Tentu ini menyulitkan saya yang lebih terbiasa dengan toilet basah seperti di Indonesia. Dan ini juga menyulitkan bagi yang muslim, karena kita harus ber-istinja (bersuci, membasuh) dengan air. Bahkan, salah seorang sensei menanyakan apakah ada toilet kering ketika akan ke Indonesia. Mengingat kebanyakan toilet di Indonesia sifatnya basah.
Jadi, akan sangat sulit jika kita meniatkan untuk mandi di kampus, karena toilet di tempat umum tidak didesain untuk mandi. Bagaimana bisa mandi, lantai basah sedikit saja langsung dikeringkan oleh janitor. Untuk berwudhu, kami biasa berwudhu dari wastafel jika sedang di kampus. Dan jika lantai sampai basah, cepat-cepat kami keringkan. Namun, syukurlah, lama-kelamaan kami sudah mulai terbiasa.
5. Makan banyak tapi tetap langsing
Selama saya di Jepang, saya jaraaaaang sekali melihat orang Jepang yang gemuk. Rata-rata berbadan kurus dan proporsional. Malah menurut saya, lebih banyak yang kurus. Mungkin ada hubungannya dengan kebiasaan gemar olahraga di atas. Paling banter berbadan gempal, itupun bisa dihitung dengan jari.
Padahal, ketika teman saya sedang party lab-nya, dia hanya bisa makan sampai 10 tumpuk piring sushi (1 piring 2 sushi). Sedangkan teman Jepangnya, malah sampai habis 30 piring. Tapi, anehnya badannya tetap saja kurus. Saya tidak tahu, mungkin karena memang makanan orang Jepang kebanyakan mengandung protein. Atau juga mungkin karena metabolisme orang Jepang lebih baik ketimbang orang Indonesia yang sekali makan, berat badannya langsung cepat naik. Mungkin juga masalah gaya hidup?
6. Tidak biasa bersalaman
Awal-awal berkenalan dengan orang Jepang, saya selalu membawa kebiasaan saya sewaktu di Indonesia, yaitu menyodorkan tangan sebagai tanda membuka perkenalan (khusus sesama jenis). Tapi, ternyata sodoran tangan saya dibalas dengan anggukan kepala dan bungkukan badan. Kontan, saya pun mengikuti gerakan lawan bicara saya tersebut, dan akhirnya tidak jadi salaman.
Secara umum, perkenalan biasanya selalu diiringi dengan salaman. Tapi, di Jepang lain lagi, kita tidak perlu menyodorkan tangan. Yang kita perlukan hanya menyebutkan nama, kemudian membungukukkan badan sembari mengucapkan yoroshiku onegai shimasu. Kebiasaan orang Jepang yang satu ini sangat menguntungkan umat muslim, terlebih lagi saat berhadapan dengan orang yang bukan mahrom (boleh dinikahi).
Kalau kita di Indonesia, ketika akan salaman dengan orang yang bukan mahrom, biasanya kita akan merapatkan telapak tangan kita dan memposisikannya di depan dada. Dengan begitu, lawan bicara kita akan mengerti. Namun, jika kita berhadapan dengan orang asing yang belum tahu, kita akan kesulitan untuk menjelaskan. Dan kemungkinan akan terjadi kesalah-pahaman jika tidak ada komunikasi yang baik. Biasanya, lawan bicara kita akan menyodorkan tangan, lalu kita balas dengan salam “ala lebaran”.
Untuk ucapan terimakasih pun, orang Jepang tidak biasa bersalaman. Biasanya mereka akan membungkukkan badan, atau minimal menganggukkan kepala. Ukuran besar-kecilnya rasa terimakasih orang Jepang bisa kita lihat dari bungkukan badannya. Semakin membungkuk tandanya ia sangat berterimakasih. Anggukan kepala biasanya untuk ucapan terimakasih biasa.
Bedanya dengan orang Indonesia, kalau kita merasa berterimakasih, kita akan menyalami lawan bicara kita dengan kedua tangan. Dan kemudian biasanya langsung memeluk lawan bicara. Tapi, sekali lagi, di Jepang lain lagi ceritanya. Jadi, sebagai pendatang, kita mau-tidak mau akan mengikuti kebiasaan mereka, meskipun hal tersebut dianggap kecil.
7. Budaya mengantri
Jangan sampai kebiasaan buruk kita di Indonesia terbawa sampai ke Jepang, yaitu budaya menerabas! Orang-orang Jepang sangat loyal terhadap peraturan dan santun kepada orang lain, termasuk untuk urusan mengantri. Antri sudah menjadi budaya disiplinnya orang-orang Jepang. Kita (pendatang) sudah harus ngeh dengan budaya antri mereka, jangan sampai kita membuat malu di negeri orang.
Beda kota, bisa berbeda juga budaya yang dianut masyarakatnya. Di Osaka, jika sedang menggunakan eskalator, sebaiknya gunakan sisi sebelah kanan bagi yang tidak terburu-buru dan mempersilakan sisi kiri bagi mereka yang ingin bergegas. Sedangkan di Tokyo (dan sebagian kota lain), jalur lambat ada di sebelah kiri dan jalur bergegas di sebelah kanan. Hati-hati, jangan sampai kita menghalangi jalan orang lain. Orang Jepang sendiri terlihat begitu menyesali diri jika mereka sampai menghalangi jalan orang lain.
Cerita lain lagi, dalam suatu perjalanan, pernah saya terjebak dalam kemacetan yang panjang. Saya pun heran, baru kali itu saya merasakan macet sedemikian panjangnya. Saya kira di Jepang bebas macet, kemudian saya tahu bahwa ada kecelakaan yang menjadi penyebab kemacetan itu. Tapi, betapa elegan-nya orang-orang Jepang dalam berlalu-lintas. Ya, mereka tetap berada dalam antrian kendaraan yang seharusnya.
Benar-benar membuat saya kagum. Betapa tidak, saya bisa membayangkan suasana kemacetan di Indonesia yang bising dengan suara klakson; antar pengemudi tidak ada yang mau saling mengalah; dan perilaku mental menerabas lainnya. Tapi, lihatlah foto di atas, sama sekali tidak ada yang menerabas dari sisi kiri; dan juga tidak ada kebisingan klakson. Benar-benar patut kita teladani.
8. Jari-jari huruf “V” saat dipotret
Coba Anda minta foto bersama orang Jepang, atau menyuruh mereka bergaya saat akan dipotret. Hampir selalu jari-jari mereka langsung bergaya “V” sambil menyunggingkan senyum terbaik. Saya, orang Indonesia, jadi ikut-ikutan bergaya seperti orang Jepang saat dipotret, hehe. Maklum, terkontaminasi budaya lokal.
Tentu kita dapat dengan mudah menebak apa maksud dari jari-jari mereka. Ya, itu perlambang “peace” – kedamaian. Tapi, bagi orang Jepang sendiri, jari-jari “V” adalah perlambang kebahagiaan. Jadi, jika mereka menggunakan gaya tersebut saat dipotret, itu artinya mereka ingin menunjukkan kebahagiaannya. Bukan berarti bagi yang tidak itu tidak bahagia, hehe..
9. Risih duduk bersebelahan
Kebiasaan ini sebenarnya saya tahu dari sensei nihonggo. Memang, sensei saya yang satu ini sesekali suka bercerita tentang Jepang dan rupa-rupinya. Mulai dari agama yang dianut, berbelanja, tempat-tempat di Jepang, sampai kebiasaan orang Jepang sehari-hari. Waktu sensei saya bertanya, sebagai orang Indonesia, bagaimana posisi duduk yang lazim jika sedang mengobrol bersama teman.
Bagi saya, saya lebih nyaman untuk duduk bersebelahan dengan teman saya ketika ngobrol. Saya merasa lebih bebas dan tidak canggung. Karena dengan begitu, kita bisa menjadi lebih santai. Justru saya merasa risih jika duduk berhadap-hadapan. Entah kenapa, rasanya risih saja, karena dengan posisi tersebut, mata kita dipaksa untuk terus beradu pandang.
Tapi, kebiasaan orang Jepang lain lagi. Justru mereka risih jika duduk bersebelahan. Mereka lebih memilih duduk berhadap-hadapan. Jika sedang ke kantin, restoran, atau perpustakaan, saya memang tidak melihat orang Jepang yang duduk bersebelahan. Semuanya duduk berhadap-hadapan. Jikapun ada orang yang duduk disampingnya, bisa jadi karena keterbatasan kursi atau memang harus duduk dengan posisi seperti itu (seperti di bis, kereta).
Jadi, jangan heran jika di restoran, kantin, atau perpustakaan, orang Jepang rata-rata duduk berhadap-hadapan. Pernah suatu saat, saya meminta teman Jepang saya untuk latihan percakapan bahasa Jepang. Kemudian, kami mencari-cari tempat yang pas hingga akhirnya kami menemukan dua bangku panjang yang berhadap-hadapan. Sebagai orang Indo, saya tentu terbiasa untuk duduk bersebelahan. Tapi, pada saat saya akan duduk di samping teman saya itu, saya malah diminta untuk duduk di hadapannya. Dia langsung mempersilakan saya sembari menunjuk kursinya.
Dan saat itu, saya langsung ingat tentang cerita sensei nihonggo saya bahwa orang Jepang lebih terbiasa duduk berhadap-hadapan ketimbangan bersebelahan, strange katanya