Sejarah Singkat Kabupaten Bekasi
Masyarakat
Bekasi memiliki jati diri kuat, peradaban unggul dan sejarah yang
panjang. Para ilmuwan hingga pujangga mencatat betapa nama Bekasi telah
termasyhur sampai penjuru Nusantara dan mancanegara sejak ribuan tahun
silam.
Ahli filologi Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka mentahbiskan nama Bekasi berasal dari kata Chandrabhaga,
nama sungai yang dibangun pada abad ke-5 Masehi oleh salah seorang Raja
Tarumanagara bernama Rajadhiraja Yang Mulia Purnawarman. Poerbatjaraka
mengurai kata Candrabhaga menjadi dua kata, yakni Chandra yang berarti “bulan” dan Bhaga yang berarti “bahagia”.
Kata Chandra dalam bahasa Sanskerta sama dengan kata Sasi dalam bahasa Jawa kuno, sehingga nama Candrabhaga identik dengan kata Sasibhaga, yang apabila diterjemahkan secara terbalik menjadi Bhagasasi.
Pada
perkembangannya, pelafalan kata Bhagasasi mengalami perubahan. Berbagai
sumber tertulis abad ke-18 sampai abad ke-21 menerakan nama Bekasi
dengan tulisan Bakasie, Bekasjie, Bekasie, Bekassi, dan terakhir Bekasi.
Bekasi juga dikenal sebagai Kota Patriot,
karena dari masa ke masa, terutama pada masa penyerangan tentara
Mataram terhadap VOC di Batavia pada 1628-1629 sampai perang kemerdekaan
1945-1949, wilayah Bekasi merupakan front terdepan bagi para patriot
pejuang Indonesia untuk menghalau Belanda yang berada di Jakarta.
Patriotisme
dan perjuangan yang dilakukan para pejuang, termasuk Pahlawan Nasional
KH Noer Alie, mengilhami banyak orang untuk berkarya. Seperti Chairil
Anwar melalui sajak monumental “Krawang-Bekasi,” wartawan Darmawijaya
dalam puisi “Kami Membangun, Pembakaran Bekasi,” pencita lagu dan
aranser Ismail Marzuki melalui lagu “Melati di Tapal Batas,” budayawan
Pramoedya Ananta Toer dalam roman sejarah Di Tepi Kali Bekasi, serta sejarawan Bekasi Ali Anwar dalam buku Sejarah Bekasi Sejak Purnawarman sampai Orde Baru, Cuplikan Sejarah Patriotik di Bekasi, KH Noer Alie Ulama Pejuang dan Bekasi Dibom Sekutu.
Kini,
di usianya yang ke-58, Kabupaten Bekasi tetap termasyhur. Sepertiga
produk ekspor Indonesia berasal dari Bekasi. Belakangan bumi Bekasi
mengandung minyak dan gas melimpah yang menyumbangkan devisi besar bagi
negara. Bahkan Kepolisian Republik Indonesia dan kepolisian Jepang
menetapkan Kepolisian Resort Bekasi sebagai kepolisian percontohan
dengan konsep polisi komunitas (community police) model koban dalam bentuk pospol-pospol.
Tarumanagara Puncak Peradaban Buni
Chandrabhaga
merupakan salah satu kata dalam Prasasti Tugu yang ditemukan di Kampung
Batu Tumbuh, Tugu, Kecamatan Cilincing, Kabupaten Bekasi (sejak 1970-an
Cilincing dimasukkan ke dalam wilayah Jakarta Utara). Karena Prasasti
Tugu merupakan prasasti bertulis tertua di Pulau Jawa (abad ke-5
Masehi), maka masyarakat Bekasi dan sekitarnya merupakan masyarakat
pertama di Pulau Jawa yang telah mengenal huruf dan membaca.
Selain
Prasasti Tugu, Tarumanagara juga menerakan jejaknya pada Prasasti
Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu,
Prasasti Pasir Awi, dan Prasasti Cidanghiang. Para arkeolog terus
melakukan penelitian untuk “menghidupkan” kembali Tarumanagara. Rupanya,
KerajaanTarumanagara merupakan puncak peradaban masyarakat Bekasi,
Karawang, Jakarta, Bogor, bahkan sebagian Jawa Barat dan Banten.
Sedangkan
akar peradaban Bekasi berlangsung sejak 1000 tahun Sebelum Masehi pada
jaman Neoliticum dan Paleometalik. Buktinya, pada 1960-an di Kampung Buni Pendayakan,
Desa Buni Bakti, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, ditemukan
berbagai peralatan hidup masa 2000 tahun silam, seperti beliung persegi,
manik-manik, perhiasan emas, periuk, piring, kendi, dan piring
arekamedu.
Para arkeolog dunia menjulukinya sebagai Situs Buni, sedangkan masyarakat mengabadikan penemuan emas yang menghebohkan itu dalam bentuk nama jalan, yakni Jalan Pasar Emas.
Sejarah
terus terkuak. Ternyata sekitar 30 kilometer ke arah timur dari Situs
Buni atau 40 kilometer dari Prasasti Tugu, di Desa Batujaya, Kabupaten
Karawang, arkeolog menemukan kompleks percandian Tarumanagara seluas 150 hektar.
Pengaruh Hindu dan Islam
Kejayaan
Tarumanagara yang lebih mengandalkan transportasi Kali Bekasi, Citarum,
dan Ciliwung, lambat laun surut bersamaan dengan serangan kerajaan
Sriwijaya pada abad ke-7-8 dan masuknya Islam dari Timur Tengah ke
Nusantara sejak pertama hijriyah (abad ke-7 Masehi).
Saat
Tarumanagara yang beragama Hindu dalam posisi amat lemah pada abad
ke-10, muncul kerajaan Hindu Sunda di sekitar Bogor sekarang. Kemudian
pada abad ke-14-15 di Bogor berdiri Kerajaan Pajajaran dengan Sunda
Kalapa sebagai pelabuhannya.
Rupanya
masuknya Islam melalui pesisir lambat-laun memiliki penganut yang kian
bertambah. Salah seorang ulama terkemuka di sekitar Bekasi dan Karawang
adalah Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro (1416), yang petilasannya
diyakini berada di Kampung Puo Bata, Lemah Abang, Karawang, dan
diziarahi umat Islam hingga sekarang.
Konon,
salah seorang santri Syeikh Quro, Nyi Mas Subang Larang, menikah dengan
Raja Galuh Purwa Nagari, Prabu Siliwangi, yang semula beragama Hindu.
Nyi Subang Larang dan kedua anaknya, Rakean Walangsungsang dan Nyi Mas
Rarasantang diyakini ikut menyebarkan ajaran Islam di Jawa Barat.
Tome
Pires dalam catatan perjalanannya pada 1513-1515 menyatakan, Pajajaran
memiliki kekuasaan atas pelabuhan Banten, Pontang, Tangerang, Kalapa,
sampai Cimanuk. Dengan demikian saat itu Bekasi masuk dalam wilayah
Kerajaan Pajajaran. Namun Raja Pakuan Pajajaran yang beragama Hindu
cemas terhadap pengaruh dan kekuatan orang Islam yang membentang di
sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, terutama banten, Cirebon, dan Demak.
Khawatir
diserang kerajaan-kerajaan Islam, Pajajaran meminta bantuan Portugis
pada 1522. Kekhawatiran Pajajaran terbukti. Pada 1527 Faletehan atau
Fatahilah bersama Cirebon dan Demak menguasai pelabuhan Sunda Kelapa.
Falatehan yang mengubah Sunda Kalapa menjadi Jayakarta dengan pusat
kerajaan di sebelah kiri Ciliwung, memiliki kekuasaan sampai Cisadane di
sebelah barat, Citarum di sebelah timur, keraton Pajajaran di sebelah
selatan, dan pulau-pulau di sebelah utara. Dengan demikian Bekasi yang
terletak di sebelah timur termasuk dalam kekuasaan Jayakarta.
Basis Pertahanan Mataram
Organisasi
dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang diizinkan
Pangeran Jayakarta Wijayakrama untuk mendirikan benteng di sebelah utara
keraton Jayakarta, malah ingin menguasai Jayakarta sehingga terjadi
konflik. Dalam pertempuran selama sebulan, VOC menaklukkan Jayakarta
pada 31 Mei 1619. Selanjutnya Jayakarta diganti menjadi Batavia.
Dari
Batavia, VOC melakukan ekspansi dagang dan kekuasaan ke wilayah lain di
Nusantara. Kondisi ini membuat marah Raja Mataram, Sultan Agung. Maka,
sejak 1828 sampai 1830 Mataram mengirimkan pasukan dan mengepung
Batavia. Sedangkan perbekalan dan peristirahatan pasukan ditempatkan di
Bekasi, Karawang, Cirebon, dan Tegal. Namun sayang, pasukan Mataram
gagal menguasai benteng Batavia. Perbekalan Mataram dibakar VOC dan kaki
tangannya.
Para
prajurit yang tidak kembali ke Mataram, menetap dan berkeluarga di
sekitar Bekasi dan Karawang. Kaum urban dari Mataram ini tentu saja
memberi tambahan warna terhadap budaya masyarakat setempat, terutama
mental pejuang, pemberontak, jago, santri, dan seniman. Para pemimpimpin
grup kesenian topeng Bekasi, sebagai contoh, selalu mengklaim bahwa
kesenian mereka tumbuh sejak para pasukan Mataram menetap di Bekasi.
Di
sekitar Batavia, pengaruh hukum VOC meluas sampai ke Bekasi, Buitenzorg
(Bogor), Karawang, dan Priangan. Tetapi karena wilayah yang dikuasai
VOC selalu tidak aman, terutama diganggu oleh pasukan Mataram dan
pemberontakan etnis Cina di Batavia sampai Bekasi pada 1740, VOC
menghadiahkan tanahnya kepada orang-orang yang dianggap berpihak
kepadanya: opsir atau komandan, pemimpin adat, demang, mandor, dan
orang Cina.
Kawasan Industri Pertanian
Pada
akhir abad ke-18 VOC bangkrut akibat terlalu besar mengeluarkan biaya
untuk perang, pembelian senjata, membayar pegawai dan tentara, serta
korupsi yang merajalela. Pemerintah Belandapun mengambilalih semua
kekuasaan dan kekayaan VOC pada 1799, sedangkan kelembagaan VOC diubah
menjadi Pemerintah Hindia Belanda.
Birokrasi
Pemerintah Hindia Belanda dibedakan dalam dua jenis, yakni pejabat
berkebangssan Eropa (Binennlandsch Bestuur) dan pangrehpraja atau
pejabat pribumi (Inlandsch Bestuuur). Secara struktural pejabat Eropa
meliputi Gubernur Jenderal, Residen, Assisten Residen, Kontrolur
(Controleur). Sedangkan pangrehpraja meliputi Patih, Bupati, Wedana,
Assisten Wedana. Saat itu Bekasi dan Cikarang berstatus distrik atau
kewedanaan dari Regenschaap atau Kabupaten Meester Cornelis, Residensi
Batavia.
Konsep
kepemilikan tanahnya diubah. Kalau pada masa kerajaan pribumi, tanah
adalah milik raja, sedangkan pada masa Hindia Belanda tanah milik
pemerintah. Untuk meningkatkan anggaran, tanah-tanah yang memiliki
potensi pendapatan ekonomi disewakan kepada pihak swasta sampai 75
tahun.
Sedangkan sebagian besar tanah di Kewedanaan Bekasi dan Kewedanaan Cikarang disewa atau dikuasai secara partikelir (particuliere landerijen) oleh para tuan tanah (landheer)
dari etnis Cina. Sehingga sejak awal abad ke-19, Bekasi dan Cikarang
menjadi kawasan industri pertanian dan pekebunan, terutama padi, kelapa,
karet, tebu, sayur-mayur, dan buah-buahan. Perkebunan tebu dan pabrik
gula, sebagai contoh, dibangun di Kampung Gabus, Karangcongok, Bekasi,
pada 1840-an. Arus urbanisasi tak terelakkan, terutama dari Cirebon,
Banten, dan Mataram.
Rupanya
di tanah yang subur ini para tuan tanah kapitalis yang lebih
mengeksploitasi ketimbang mensejahterakan penduduknya. Sedangkan pejabat
pemerintah lebi berpihak kepada kepentingan tuan tanah ketimbang
masyarakatnya, sehingga menimbulkan keresahan agraris dan sosial.
Keresahan tersebut memuncak pada pemberontakan petani di Tambun pada
1869 yang menewaskan Assisten Residen Meester Cornelis C.E. Kuyper.
Pembangunan
rel kereta api Manggarai sampai Kedunggedeh pada 1887 pada satu sisi
mempercepat arus barang dan penumpang, namun di sisi lain kian
memperbesar peluang eksploitasi terhadap hasil bumi dan tenaga manusia.
Hidup masyarakat kian terbebani oleh kenaikan harga, upah buruh yang
rendah, serta penarikan berbagai jenis pajak (cuke, sewa tanah,
penangkapan binatang, pengairan, pohon, pemanfaatan tanah, pesta,
pasar), rente dan ijon, dan pungutan liar.
Sarekat Islam Penyalur Aspirasi
Saat
masyarakat Bekasi kebingungan menyalurkan aspirasinya, pada 1913 hadir
Sarekat Islam. Organisasi pergerakan yang memakai simbol-simbol Islam
ini sanggup menjadi wadah penyalur aspirasi masyarakat tertindas, karena
selalu dibela bila anggotanya dirugikan pemerintah dan tuan tanah.
Pemerintah
Kewedanaan Bekasi yang ketakutan terhadap perkembangan Sarekat Islam,
sampai ikut campur tangan dengan cara mengubah nama Sarekat Islam
menjadi Djoemiat Islamijah. Untuk melawan Djoemiat Islamijah, tuan
tanah mendirikan organisasi tandingan bernama Kong Djie Hin. Konflik
meruncing dalam bentrokan antara 3000 anggota Djoemiat Islamijah dengan
ratusan orang kaki tangan tuan tanah dan mandor di pada 13 Desember
1913.
Untuk
menenangkan Bekasi, beberapa tuntutan masyarakat dipenuhi. Djoemiat
Islamijah kembali menjadi Sarekat Islam, upah kerja buruh dinaikkan.
Beratnya ongkos dan biaya hidup, membuat kaum buruh kembali menuntut
kenaikan upah pada 1919. Namun pemerintah dan tuan tanah bukannya
meningkatkan kesejahteraan buruh, malah melakukan penekanan dengan cara
menambah pasukan militernya sejak 1922.
Tuan
tanah juga tidak menghendaki penduduknya berpendidikan tinggi, karena
khawatir menjadi ancaman. Itu sebabnya, sampai awal 1930-an tidak ada
lembaga pendidikan umum di Bekasi, sehingga kebanyakan anak-anak Bekasi
menempuh pendidikan dasar di madrasah-madrasah. Hanya santri yang gigih,
cerdas, pintar dan berpikiran majulah yang bisa bermukim ke Makkah,
Saudi Arabia. Itupun dengan biaya sendiri, seperti KH Noer Alie, KH
Mochtar Tabrani, KH Muhajirin, KH Masturo.
Pendudukan Militer Jepang
Setelah
menang dalam Perang Dunia II, Pemerintah Pendudukan Militer Jepang yang
memperoleh wilayah Pasifik dan selatan Jepang amat mudah menguasai
Indonesia pada 1942. Begitu juga saat datang ke Bekasi, kedatangan
Jepang disambut dengan antusias. Karena Jepang yang sama-sama dari Asia
dan dianggap “saudara tua” mampu menggantikan kekuasaan Pemerintah
Hindia Belanda.
Sebelum
Jepang mengambilalih pemerintahan dan keamanan, Jepang mengajak
masyarakat Bekasi melakukan penggedoran (penjarahan) terhadap rumah,
gudang, dan toko tuan tanah Cina. Bendera Merah-Putih dikibarkan, lagu
Indonesia Raya diperdengarkan. Namun, kegembiraan hanya berlangsung
sepekan. Selebihnya, hidup masyarakat Bekasi dalam ketakutan, kelaparan,
kemiskinan, dan kematian.
Salah
seorang penjarah, Mahbub, malah dipancung di Alun-alun Bekasi.
Merah-Putih diganti bendera Jepang (bola merah), lagu Indonesia Raya
diganti dengan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. Residensi Batavia
diganti menjadi Jakarta Shu, Kabupaten Meester Cornelis menjadi
Jatinegara Ken, Kewedanaan atau Distrik Bekasi dan Cikarang menjadi
Bekasi Gun dan Cikarang Gun, Onderdistrik atau kecamatan menjadi Sen,
Desa menjadi Ku.
Masyarakat
Bekasi banyak yang dijadikan pekerja paksa atau Romusha, hasil panen
harus diserahkan kepada pemerintah. Manfaat pendudukan Jepang
diantaranya, para pemuda dilatih kemiliteran seperti Seinendan (barisan
pemuda), keibodan (pembantu polisi), heiho (baris-berbaris) yang lulus
dilatih militer dalam Pembela Tanah Air (Peta).
Meski
daya cengkeram Jepang amat kuat, namun para tokoh Bekasi melakukan
siasat dengan cara menanamkan semangat keagamaan dan nasionalisme kepada
para santri dan anak muda. Seperti KH Noer Alie di Ujungmalang,
Babelan; Haji Rijan dan Husein kamaliy di Kranji. Sedangkan di Mesjid
Pasar Bekasi berdiri Gerakan Pemuda Islam Bekasi (GPIB) yang dipimpin KH
Abdul Hamid, Marzuki Urmaini, Hasan Sjahroni, Marzuki Hidayat. Di
Tambun para pemuda dipimpin Angkut Abu Gozali, dan di Cikarang oleh
Muhammad Hasan dan KH Fudholy.
Front Terdepan Para Patriot
Jepang
menyatakan takluk kepada Sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom
atom. Pemuda Indonesia memanfaatkan situasi ini dengan memproklmasikan
kemerdekaan yang dibacakan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesai (PPKI) mengubah namanya menjadi Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Di Bekasi dibentuk KNI Bekasi yang
memegang pemerintahan sipil, menyalurkan sumbangan dan mengurus korban
perang.
Jakarta
dikuasai Sekutu, sehingga Ibu Kota Negara dipindahkan ke Yogyakarta,
sedangkan Pemerintahan Jakarta mengungsi ke Purwakarta. Sekutu dan
Belanda yang berada di Jakarta amat antusias menguasai wilayah sebelah
timur (Bekasi-Karawang), namun harus berhadapan dengan para patriot muda
dan berani (BKR, TKR, dan badan perjuangan) di front terdepan, Cakung.
Berbagai
peristiwa heroik terjadi selama perang. Diantaranya keikutsertaan
rakyat Bekasi dalam rapat raksasa Ikada, pertempuran di stasiun Bekasi
yang menewaskan 90 orang tentara Jepang, jatuhnya pesawat Dakota Inggris
di cakung yang 26 pasukannya tewas di Bekasi.
Pertahanan
Bekasi sempat goyah akibat perseteruan antarpejuang. KH Noer Alie dari
Hizbullah menggabungkan badan-badan perjuangan dengan membentuk Badan
Kelaskaran Bekasi pada 6 Januari 1946. Tapi KH Noer Alie mengundurkan
diri, karena didesak oleh orang-orang yang ingin memasukkan ideologi
politik sosialis Tan Malaka ke dalam tubuh Badan Kelaskaran Bekasi.
Perpecahan
melebar sampai terjadi konflik internal di tubuh pejuang Republik
Indonesia. Pasukan Lasykar Rakyat yang tidak mau bergabung ke dalam
Tentara Republik Indonesia (TRI) di bawah Jenderal Soedirman, malah
melucuti pasukan TRI dan menduduki markas TRI di Tambun pada 13 April
1947. Setelah terjadi pertempuran, TRI menaklukkan Lasykar Rakyat pada
15 April.
Sejumlah
tokoh Lasykar Rakyat yang melarikan diri ke Jakarta–seperti Haroen
Oemar, Aziz, Noerdin Pasariboe, Pandji, Fachroedin, Soemarmo, dan
Soedjono–belakangan menjadi penunjuk jalan bagi Belanda saat Agresi
Militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Agresi memporakporandakan
pertahanan Bekasi sampai Karawang.
Tentara
Republik yang porakporanda ini dihimpun KH Noer Alie dalam wadah baru
bernama Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya yang
dibentuk di Karawang pada September 1947. Wakil Residen Jakarta Mohammad
Moe’min yang melihat kekosongan jabatan Pemerintah Jatinegara akibat
ditinggalkan Bupati Jatinegara, Rubaya, menunjuk KH Noer Alie sebagai
Koordinator Jatinegara pada 10 Januari 1948. Perang dengan Belanda
berakhir yang ditandai dengan Konverensi Meja Bundar di Den Haag,
Belanda, pada 27 Desember 1949.
Kabupaten Jatinegara Menjadi Bekasi
Bekasi
menolak Republik Indonesia Serikat (RIS) dan menghendaki bergabung ke
dalam Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Para tokoh
masyarakat—seperti KH Noer Alie, R Supardi, M Hasibuan, Namin, Aminudin,
Marzuki Urmaini, Marzuki Hidayat, Hasan Sjahroni, Lukas Kustaryo,
membentuk Panitia Amanat Rakyat Bekasi. Mereka menghimpun sekitar 40
ribu orang warga Kewedanaan Bekasi dan Kewedanaan Cikarang di Alun-alun
Bekasi pada 17 Januari 1950. Dalam apel akbar tersebut mereka berikrar
keluar dari Distrik Federal Jakarta dan menolak Negara Pasundan, untuk
selanjutnya bergabung kedalam NKRI.
Rupanya
tuntutan masyarakat Bekasi diterima pemerintah pusat. RIS berubah
menjadi RI, Kabupaten Jatinegara berganti nama menjadi Kabupaten Bekasi.
Lantas, berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang
Pemerintahan Daerah Kabupaten Jawa Barat, pada 15 Agustus 1950 Kabupaten
Bekasi–bersama-sama Kabupaten Bogor dan Kabupaten Tengerang–dimasukkan
ke dalam Provinsi Jawa Barat. Masa itu Bekasi dipimpin oleh Bupati R.
Suhandan Umar (1949-1951) dan Penjabat Sementara Bupati KH Noer Alie
(1951).
Ketika
Bupati R Sampoerno Kolopaking (1951-1958) masyarakat Bekasi mengikuti
pemilihan umum untuk yang pertama kali pada 1955. Hasilnya, komposisi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan (DPRDP) didominasi lima partai
besar, yakni Masjumi 8 kursi, IP-KI 7 kursi, NU 3 kursi, PNI 2 kursi,
dan PKI 2 kursi. Sedangkan delapan partai lainnya masing-masing 1 kursi.
Pada
1958-1960 Bekasi dipimpin oleh dua pemimpin, yaitu RMKS Prawira
Adiningrat sebagai Bupati Bekasi dan Nausan sebagai Kepala Daerah
Swatantra Tingkat II Bekasi.
Meski
Kabupaten Bekasi telah berubah menjadi Kabupaten Bekasi, namun pusat
pemerintahan Kabupaten Bekasi masih di Jatinegara (sekarang Markas Kodim
0505 Jayakarta), sedangkan Dinas Pekerjaan Umum dan Jawatan Pertanian
berkantor di Gedung Tinggi Tambun. Agar pelayanan lebih dekat dengan
masyarakatnya, Prawira Adiningrat memulai pembangunan gedung
pemerintahan di Bekasi Kaum, Bekasi Timur, Jalan Juanda, Bekasi.
Barulah ketika masa Bupati dan Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Bekasi Maun Alias Ismaun, pada 2 April 1960 Pusat Pemerintah Bekasi di gedung baru di Bekasi Kaum.
Pada
20 Agustus 1962 Kabupaten Bekasi memiliki logo pemerintahan dengan
sesanti “Swatantra Wibawa Mukti” yang berarti daerah yang mengurus rumah
tangganya sendiri, berpengaruh dan jaya makmur. Saat itu, Pemerintah Pusat membangun Saluran Induk Tarum Barat dari Purwakarta sampai Bekasi dan Jakarta.
Pemberantasan G30S/PKI
Pemberlakuan
kembali kepada Undang-undang dasar 1945 seyogianya membuat bangsa
Indonesia semain baik. Tapi pada kenyataanya, Presiden Soekarno
meneraokan sistem politik Demokrasi Terpimpin. Partai-partai politik
yang berlawanan dibubarkan, sedangkan yang mendukung seperti Partai
Komunis Indonesia (PKI) dirangkul.
Konflik
berujung pada peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September (G30S/PKI).
Komando Distrik Militer 0507 Bekasi dibawah pimpinan Komandan Seksi II
Kapten Sidharta dan Komandan Seksi IV Kapten Henderik, menangkap
pemimpin PKI Bekasi, Abas Djunaedi. Beberapa pasukan Tjakrabirawa
ditangkap di Cibarusah.
Adapun para pemuda, mahasiswa, dan pelajar Bekasi membentuk Komando Aksi Tumpas yang dipimpin
Ki Agus Abdurrachman (Pemuda Pancasila), Dadang Hasbullah (Pemuda
Muhammadiyah), Abdurrachman Mufti, Ateng Siroj, Muhtadi Muchtar (PII)
dan Damanhuri Husein (Gerakan Pelajar Pancasila) serta tokoh-tokoh lain
dari unsur Gerakan Pemuda Anshor, IPNU, IPPNU, IPM dan lain-lain), serta
Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) Bekasi yang diketuai
oleh Ateng Siroj dan sekretaris Damanhuri Husein.
Masa Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, Bekasi dipimpin Bupati MS Soebandi (1967-1973). Ketika itu, merupakan tahapan pembangunan lima tahun pertama, pemerintah meluncurkan bantuan pembangunan desa, berupa pembangunan jalan, gedung sekolah, dan kesehatan.
Bupati H. Abdul Fatah memimpin pada 1973-1983. Ketika itu Saluran Irigasi Tarum Barat selesai dibangun.
Kemudian menyusul pembangunan Canal Bekasi Laut (CBL). Manfaatnya, 30
ribu hektar sawah mendapat air secara teratur. Sampai-sampai Kabupaten
Bekasi sempat surplus beras, sehingga mampu memenuhi stok nasional dan menjadi salah satu lumbung padi Jawa Barat.
Pada masa itu dibangun Kantor Pemerintah Kabupaten Bekasi di Jalan Ahmad Yani No.1 Bekasi, stadion, gedung olahraga,
monumen daerah, serta fasilitas-fasilitas umum lainnya. Pada sisi lain
beberapa bagian wilayah Bekasi diambil kembali oleh DKI Jakarta,
terutama Cakung, Cilincing, dan sebagian Pondok Gede.
Masa Bupati H. Suko Martono (1983-1993) pembangunan menekankan pada sektor pertanian.
Bekasi kembali menjadi kawasan industri modern, perumahan, dan
pertokoan. Bersama-sama tokoh masyarakat seeprti KH Noer Alie, Suko
Martono mendirikan Yayasan Nurul Islam, yang salah satu programnya
membangun gedung Islamic Centre.
Bupati H. Mochammad Djamhari (1993-1998) mencanangkan pembangunan dengan moto “Back
to Village” (Kembali ke desa) dengan mengadakan berbagai proyek-proyek
percontohan di sektor pertanian. Kepada para investor perumahan
dikenakan kewajiban untuk menyediakan fasilitas pendidikan sekolah dasar
dan lahan tempat pemakaman umum. Saat itu pusat kota dikembangkan menjadi Kota Administratif Bekasi menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1996 tanggal 18 Desember 1996.
Masa Reformasi
Lengsernya
Presiden Soeharto menandai awal era reformasi. Bupati H Mochammad
Djamhari digantikan H Wikanda Darmawijaya (1998-2003). Melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sistem pemerintahan daerah terdapat perubahan. Posisi DPRD berada di luar Pemerintah Daerah, bahkan menjadi mitra sejajar dengan Pemerintah Daerah. Adapun Pemerintahan Daerah diselenggarakan secara lebih otonom.
Bupati bersama DPRD membangun Kabupaten Bekasi dengan visi “Manusia Unggul yang Agamis Berbasis Agribisnis dan Industri Berkelanjutan”. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) ditingkatkan, kompleks prostitusi “Malvinas” ditutup untuk selanjutnya diganti menjadi Rumah Sakit Umum dan mesjid. Ibu Kota Kabupaten Bekasi, lengkap dengan gedung pemerintahan, DPRD, dan mesjid dibangun di Desa Sukamahi, Cikarang pusat.
Pembangunan gedung-gedung Pusat Pemerintahan Kabupaten Bekasi tersebut dilanjutkan oleh Bupati Drs. H.M. Saleh Manaf (2003-2006). Bahkan pada Bupati Saleh Manaf, gedung pemerintahan yang baru mulai difungsikan.
Kecamatan yang berjumlah 15 kecamatan menjadi 23 kecamatan. Selama
terjadi kekosongan jabatan bupati dan wakil bupati, ditunjuk Sekretaris Daerah Kabupaten Bekasi Drs. H.R. Herry Koesaeri S, M.Si sebagai Pelaksana Tugas Bupati Bekasi, dan Drs. H. Tenny Wishramwan, M.Si sebagai Penjabat Bupati Bekasi.
Pada masa itu diselenggarakan pemilihan Kepala Desa pada 105 desa.
Masa ini pula dijadikan tonggak penting bagi sejarah Bekasi. Ulama
pejuang almarhum KH Noer Alie menerima gelar Pahlawan Nasional dan
Bintang Mahaputra Adhi Pradana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di
Istana Negara pada 9 November 2006.
Melalui pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, Drs.H.Sa’duddin, MM dan H. M. Darip Mulyana, S.Sos, M.Si terpilih sebafai Bupati dan Wakil Bupati Bekasi periode 2007-2012.
Kini,
pada ulang tahun Kabupaten Bekasi yang ke-58, dalam membangun masa kini
dan masa depan yang lebih baik, kita selalu berkaca dari sejarah.
Dengan belajar dari sejarahlah kesalahan dapat diminimalisasi dan
kebenaran dan keberhasilan dapat ditingkatkan. Semua semata demi
terwujudnya masyarakat Kabupaten Bekasi yang sejahtera, adil, dan
makmur. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala meridhoi niat baik kita semua. Amien.
Bekasi, 1 Agustus 2008
Catatan:
Sejarah Singkat Kabupaten Bekasi ini disampaikan dalam Rapat Paripurna
HUT Kabupaten Bekasi ke-58 di Gedung DPRD Kabupaten Bekasi pada Jumat,
14 Agustus 2008. Namun karena kesemberonoan petugas di Badan
Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi, sehingga hanya dua halaman
dari naskah ini yang dikutip. Sedangkan naskah berikutnya sampai akhir
tetap menggunakan naskah Sejarah Singkat Kabupaten Bekasi tahun 2007.
Masalah ini sudah diklarifikasi penulis kepada Kepala Badan Pemberdayaan
Masyarakat, Drs. H. Aspuri, M. Pd pada Rabu, 27 Agustus 2008. Aspuri
berjanji akan mengganti kesalahan tersebut dengan mencetak lagi
menggunakan naskah Sejarah Bekasi tahun 2008.
DAFTAR NAMA BUPATI KEPALA DAERAH
DAN KETUA DPRD KABUPATEN BEKASI
I. Bupati dan Kepala Daerah Kabupaten Bekasi
-
Periode (1949 – 1951)
Bupati Bekasi dijabat oleh R. Suhandan Umar
-
Tahun 1951 selama 3 (tiga) bulan
Jabatan sementara Bupati Bekasi selama 3 (tiga) bulan adalah KH. Noer Alie
-
Periode (1951 – 1958)
Bupati Bekasi dijabat oleh R. Sampoerno Kolopaking
-
Periode (1958 – 1960)
Bupati Bekasi dijabat oleh RMKS Prawira Adiningrat.
Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Bekasi dijabat oleh Nausan
-
Periode (1960 – 1967)
Jabatan Bupati dan Jabatan Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Bekasi dijabat dan dirangkap oleh Maun alias Ismaun.
-
Periode (1967 – 1973)
Bupati/Kepala Daerah Tk.II Bekasi dijabat oleh MS. Soebandi
-
Periode (1973 – 1978 dan 1978 – 1983)
Bupati/Kepala Daerah Tk.II Bekasi dijabat oleh H. Abdul Fatah
-
Periode (1983 – 1988 dan 1988 – 1993)
Bupati/Kepala Daerah Tk.II Bekasi dijabat oleh H. Suko Martono
-
Periode (1993 – 1998)
Bupati/Kepala Daerah Tk.II Bekasi dijabat oleh H. Moch. Djamhari
-
Periode (1998 – 2003)
Bupati Bekasi adalah H. Wikanda Darmawijaya
-
Periode (2003 s/d 16 Februari 2006)
Bupati Bekasi adalah Drs. H.M. Saleh Manaf
-
Periode (16 Februaru 2006 s/d 27 April 2006)
Sebagai Pelaksana Tugas Harian (Plt) Bupati Bekasi yaitu Drs. H.R.Herry Koesaeri S, M.Si
-
Periode (27 April 2006 s/d 19 April 2007)
Pejabat Bupati Bekasi adalah Drs. H. Teny Wishramwan, M.Si
-
Periode (19 April 2007 s/d 14 Mei 2007)
Sebagai Pelaksana Tugas Harian (Plt) Bupati Bekasi yaitu Drs. H.R.Herry Koesaeri S, M.Si
-
Periode (14 Mei 2007 s/d 2012)
Bupati Bekasi adalah Drs. H.Sa’duddin, MM
II. Ketua DPRD Kabupaten Bekasi
-
Periode (1950 – 1956)
Madnuin Hasibuan selaku Ketua DPRDS
-
Moh. Husein Kamaly
Periode (1956 – 1957) selaku Ketua DPRDP
Periode (1957 – 1960) selaku Ketua DPRD
Periode (1960 – 1967) selaku Ketua DPRD-GR
-
Tahun 1960, selaku Ketua DPRD
Hasyim Ahmad
-
Periode (1960 – 1967)
Maun Al Ismaun, selaku Ketua DPRD-GR
-
Periode (1967 – 1971)
B. Efendi, selaku Ketua DPRD
-
Periode (1971 – 1976 dan 1976 – 1981)
R. Supriyadi, selaku Ketua DPRD
-
Periode (1981 – 1987)
H. Arsyad baedlowi, selaku Ketua DPRD
-
Periode (1987 – 1992)
H.Roesmin, selaku Ketua DPRD
-
Periode (1992 – 1997)
H. Abdul Manan, selaku Ketua DPRD
-
Tahun 1997
H. Wikanda Darmawijaya, selaku Ketua DPRD
-
Tahun 1997
H. R. Sugiyono, selaku Ketua DPRD
-
Periode (1997 – 2004)
Drs. H. Damanhuri Husein, selaku Ketua DPRD
-
Periode (2004 s/d 2006)
Ketua DPRD adalah Drs. H. Sa’duddin, MM
-
Periode (2006 s/d saat ini/2007)
a.n.Pimpinan DPRD H. Nuradi S.