Dalam catatan akhir Buku Sejarah Ciamis disebutkan ada lima pertimbangan yang melandasi penetapan Hari jadi Ciamis yaitu:
- Dampak positif perkembangan pemerintahan dan masyarakat yang signifikan setelah R.P.A Jayanagara memindahkan pusat kekuasaan kabupaten Imbanagara ke Barunay.
- Perpindahan itu mengandung unsur perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
- Kabupaten Imbanagara akhirnya mampu menyatukan wilayah Galuh sehingga daerah kekuasaanya hampir menyamai wilayah Kerajaan Galuh tanpa melalui kekerasan.
- Kesultanan Mataram pun mengakui kekuasaan Kabupaten Imbanagara dan menjadikan sekutu dalam mengusir penjajah.
- Kenyataan hubungan antara Kabupaten Imbanagara dan Ciamis tidak dapat diputuskan.
Sejarah Awal Kabupaten Ciamis Jawa Barat
Kabupaten
Ciamis dahulu merupakan sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan
Galuh. Kerajaan Galuh masih berdiri hingga tahun 1595 yang dipimpin oleh
Ujang Meni (putra Prabu Haur Kuning) setelah di abhiseka bernama
Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh dan pemerintahanya berpusat di
Cimaragas. Ketika putranya yang bernama Ujang Ngekel yang kemudian
bergelar Prabu Galuh Cipta Permana berkuasa tahun 1595-1608 M kerajaan
dipindahkan ke Gara Tengah (Cineam Tasikmalaya).
Berubahnya
sistem kerajaan di Galuh menjadi “Kabupatian” diakibatkan kuatnya
pengaruh Mataram di jaman pemerintahan Mas Jolang dengan gelar Sultan
Sultan Agung Hanyokrowati (1601-1613). Menjelang 1608 merupakan
masa-masa peralihan system pemerintahan di Galuh saat pengaruh Mataram
di Kartasura semakin kuat. Akhirnya semua penguasa yang tadinya bergelar
Prabu, Raja, Sang, Susuhunan dsb, dirubah oleh Mataram hanya menjadi
Bupati dengan gelar Adipati atau Tumenggung hal itu terjadi ketika putra
Prabu Galuh Cipta Permana yang bernama Ujang Ngoko naik takhta tahun
1606 dan hanya bergelar Adipati Panaekan. Oleh Mataram Adipati Panaekan
diberi kekuasaan atas 960 cacah dan memerintah atas nama Sultan Mataram.
Adipati
Panaekan mati terbunuh tahun 1625 oleh Adipati Singaperbangsa (adik
iparnya yang menjadi Bupati di Galuh Kertabumi) akibat perselisihan
faham antara mereka berdua menyangkut dalam rencana penyerangan terhadap
Belanda ke Batavia. Kemudian Adipati Panaekan diganti oleh putrananya
bernama Mas Dipati Imbanagara (Ujang Purba) yang berkuasa sampai tahun
1636 di Gara Tengah. Mas Dipati Imbanagara dituduh bersekongkol dengan
Dipati Ukur oleh Sultan Agung akibat fitnah dari patihnya sendiri yang
bernama Wiranangga karena berambisi jadi bupati. Mas Dipati Imbanagara
akhirnya mendapat hukuman mati. Peristiwa ini sangat menyakitkan bagi
masyarakat Galuh.
Mas Dipati Imbanagara
dipenggal di Bolenglang (Ciamis) oleh Tumenggung Narapaksa dan kepalanya
di bawa ke Mataram sebagai bukti. Badannya dikuburkan dan dikenal
dengan makam Gegembung. Pengikut Imbanagara segera mengejar pasukan
Mataram dan terjadilah perebutan kepala tersebut di sekitar Sungai
Cijolang, namun kepala itu jatuh ke Leuwi Panten dan akhirnya terbawa
juga Ke Mataram. Setelah Mas Dipati Imbanagara meninggal maka tampuk
pemerintahan Bupati Galuh Gara Tengah dipegang oleh Mas Bongsar. Karena
usianya waktu itu masih 13 tahun, untuk sementara jalannya pemerintahan
dilaksanakan oleh Patih Wiranangga. Patih ini kemudian merobah isi
piagam pengangkatan Mas Bongsar dari Sultan Agung dengan membuat piagam
palsu yang menyatakan dirinya sebagai bupati.
Namun
perbuatan ini diketahui oleh Ki Pawindan, ponggawa Mas Dipati
Imbanagara yang menemukan piagam asli pengangkatan Mas Bongsar di
Padaherang, dibawah kolong sebuah rumah panggung. Akhirnya terbongkarlah
kebusukan Patih Wiranangga selama ini, dan Sultan Agung menjatuhkan
hukuman mati. Namun atas permintaan Mas Bongsar, Patih Wiranangga yang
masih Pamannya ini akhirnya diampuni. Mas Bongsar pun diangkat menjadi
Bupati Galuh pada 6 Agustus 1636 dengan Gelar Raden Panji Aria
Jayanegara. Dan nama kabupatennya berubah menjadi Imbanagara untuk
menghormati nama ayahnya.
[quote]Menurut
buku Sejarah Ciamis yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kab Ciamis bekerja
sama dengan LPPM Unigal, Sejak tahun 1636 Kabupaten Imbanagara
merupakan salah satu pusat kekuasaan di Galuh disamping Kertabumi dan
Kawasen. Tahun 1641, kebijakan politik Mataram di mancanagara barat
akibat dampak pemberontakan Dipati Ukur membuat wilayah Priangan di
pecah menjadi empat kabupaten. Yaitu Sumedang,Bandung, Parakanmuncang
dan Sukapura. Sedangkan wilayah Galuh dipecah menjdi 5 kabupaten
yaitu:Imbanagara, Bojonglopang, Utama, Kawasen dan Banyumas. Kabupaten
Utama tidak lama kemudian dilebur ke wilayah Bojonglopang. Setelah itu
terjadi lagi penciutan mancanagara barat oleh Sunan Amangkurat I
penguasa Mataram yang menggantikan Sultan Agung, menjadi 12 ajeg
(kabupaten) Yaitu : Sumedang, Bandung, Parakanmuncang, Sukapura,
Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaya (Bojonglopang), Sekace,
Banyumas, Ayah dan Banjar.[/quote]
Gara
Tengah ternyata menyimpan kenangan buruk bagi RPA Jayanegara sehingga
beberapa kali ibukota kabupaten dipindahkan. Diantaranya ke Calingcing
kemudian ke Bendanagara (Panyingkiran), sampai pada akhirnya ibukota
ditetapkan di Barunay (antara Cikoneng dan Kota Ciamis). Tempat ini
memilki nilai strategis. Selain tidak kekurangan air juga memilki
hamparan dataran yang luas, Barunay akhirnya berubah nama menjadi
Imbanagara. Waktu itu berdasarkan perhitungan Rd.Rg. Kusumasembada dan
Rd.Rachmat bertepatan dengan 12 Juni 1642. momen waktu inilah yang
menjadi dasar penetapan berdirinya cikal bakal Kabupaten Ciamis. Dan
Jayanegara memerintah selama 42 tahun. Imbanagara menjadi ibukota
kabupaten berlangsung sampai tahun 1815. dan dari tahun 1642 sampai 1815
kabupaten-kabupaten lainnya seperti Kertabumi, Utama, Kawasen, Panjalu
dan Kawali dilebur ke Imbanagara.
Hal
itu mengakibatkan wilayah Imbanagara semakin luas, dari Sungai Cijolang
sampai ke pantai selatan dan dari Citanduy sampai ke Sukapura. Bahkan
wilayah yang terletak sebelah timur Citanduy seperti Dayeuhluhur, Nusa
Kambangan, Cilacap dan Banyumas, dijadikan wilayah perwalian Kabupaten
Imbanagara. Sehingga wilayah kekuasaan Kabupaten Imbanagara hampir
menyamai luas Kerajaan Galuh sehingga kedudukan Imbanagara paling tinggi
di wilayah Galuh.
Perjanjian antara
Mataram dan VOC pada 19-20 Oktober 1677 membuat wilayah Priangan Timur
dikuasai oleh VOC, sebagai balas jasa Mataram yang telah dibantu oleh
VOC dalam menyelesaikan perebutan kekuasaan di Mataram. Saat itu yang
menjadi Bupati Imbanagara adalah R.A Angganaya (1678-1693). VOC kemudian
mengangkat R.A Sutadinata(1693-1706) sepeninggalnya Angganaya. Oleh
Gubernur Jendral VOC Bupati dijadikan sebagai pelaksana atau agen
verplichte leverantie atau agen penyerahan wajib tanaman komoditas
perdagangan seperti berasm cengkih, pala, lada, kopi, indigo dan tebu.
Hal ini tentu membebani kehidupan rakyat. Sehingga tahun 1703 terjadi
kerusuhan yang digerakan oleh H. Prawatasari atau Raden Alit yang
melanda di wilayah Galuh yaitu di Utama, Bojonglopang dan Kawasen. Namun
dapat dipadamkan oleh VOC pada 12 Juli 1707 setelah H.Prawatasari
tertangkap.
1706 sampai 1727 Kabupaten
Imbanagara dipimpin oleh R.A. Kusumadinata I. pada masa pemerintahanya
dimulailah penanaman Kopi sekitar 1720 dengan areal budidaya di lereng
Gunung Sawal dan Gunung Ciremai. Namun penanaman kopi itu tidak mencapai
hasil setinggi di daerah Priangan Tengah dan barat. Selanjutnya
Kusumadinata I digantikan oleh Kusumadinata II (1727-1732).
Karena
R.A Kusumadinata II tidak mempunyai anak maka jabatan Bupati Imbanagara
diserahkan kepada keponakannya, Mas Garuda yang masih kecil. Sehingga
antara tahun 1732 sampai 1751 Kabupaten Imbanagara dipimpin oleh tiga
orang wali Mas Garuda. Setelah dewasa, tahun 1751 Mas Garuda memerintah
Imbanagara sampai tahun 1801 dengan gelar R.A. Kusumadinata III.
Pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh R.A. Natadikusumah (1801-1806).
Masa itu merupakan masa peralihan dari VOC ke Hindia Belanda dibawah
pimpinan Deandels. Dikisahkan dalam wawacan Sajarah Galuh, R.A
Natadikusumah pernah memukul pejabat VOC yang bernama Ajun Kumetir
Pieter Herbertus van Pabst karena merasa tersinggung akibat
diperintahkan untuk menimbang hasil bumi sebab hal itu m bukan pekerjaan
seorang Bupati. Sehingga jabatannya sebagai bupati dicopot dan kemudian
diganti oleh Surapraja dari Limbangan (1806-1811). Surapraja merupakan
bupati Imbanagara yang bukan keturunan Galuh.
Surapraja
kemudian dilanjutkan oleh R.Tumenggung Jayengpati Kartanagara selama
satu tahun, karena Surapraja dianggap tidak cakap. Pada masa itu Inggris
menguasai pulau Jawa setelah Gubernur Jendral Hindia Belanda Jan Willem
Jansens (pengganti H.W Daendels) menyerah tanggal 17 September 1811 di
Salatiga. Jayengpati Kartanagara diganti oleh R.T. Natanagara dari
Cirebon namun jabatanya dicopot kembali tahun 1814 akibat berniat
memindahkan ibu kota kabupaten ke Randegan (dekat Banjar). Jabatanya
kemudian diisi oleh Pangeran Sutajaya dari Gebang Cirebon. Karena
hubunganya kurang harmonis dengan ketiga patihnya yaitu R. Wiradikusuma
(Imbanagara), R.Wiratmaka (Utama) dan R. Jayadikusumah (Cibatu.Ciamis),
maka Pangeran Sutajaya menyerahkan posisinya kepada tumenggung
Wiradikusumah tanggal 15 Januari 1815. pada saat itu Kabupaten
Imbanagara beralih nama menjadi Kabupaten Galuh dengan ibukotanya di
Ciamis dan secara resmi nama ini diakui oleh Hindia Belanda diakhir
pemerintahan Raffles. Dan Kabupaten Galuh kembali dipimpin oleh
keturunan Maharaja Sanghyang Cipta Permana.
Pertengahan
tahun 1819-1839 Kabupaten Galuh dipimpin oleh R.Adipati Adikusumah
(putra Wiradikusuma). Pada masanya pemerintah Hindia Belanda yang tengah
terbebani utang besar akibat besarnya biaya perang menerapkan system
pemulihan ekonomi yang kelak disebut cultuur stelsel yang diusulkan oleh
van den Bosch tahun 1829. Jabatan Bupati Galuh kemudian di lanjutkan
oleh putranya yang bernama R.A.A Kusumadiningrat (1839-1886) yang
mendapat Gelar Kanjeng Prebu.. Dalam buku Onom dan Rawa Lakbok
disebutkan bahwa gelar tersebut lebih tinggi dari gelar pangeran. Gelar
tersebut juga diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda, karena memang
dicintai oleh masyarakat Galuh.
Kanjeng
Prebu lahir tahun 1811 di Imbanagara, merupakan bupati yang terkemuka
karena sangat memperhatikan berbagai bidang pembangunan di Kabupaten
Galuh. Diantaranya adalah membangun saluran air Gandawangi, Cikatomas (
1842), Wangundireja (1862), Dam Tanjungmangu atau Nagawiru (1843).
Kanjeng Prebu juga membangun beberapa gedung di pusat ibukota Kabupaten
Galuh, yaitu Ciamis. Saat ini gedung-gedung terdebut dikenal sebagai
Gedung DPRD, Gedung Kabupaten, Tangsi Militer, Masjid Agung dsb. Atas
usulan Kanjeng Prebu kepada Pemerintah Hindia Belanda maka jalan kreta
api dapat melalui Ciamis, kendati Belanda harus merogoh kocek yang lebih
besar karena harus membangun 2 jembatan besar yaitu Cirahong dan
Karangpucang
Kanjeng
Prebu juga sangat memperhatikan bidang pendidikan. Oleh karena itu
dirinya mendirikan sekolah sunda di Ciamis (1862) dan di Kawali (1872),
hal tersebut merupakan karya kepeloporan pendirian sekolah di Jawa
Barat. Demikian pula dibidang pertanian, yang paling terlihat adalah
penanaman Pohon Kelapa, sehingga akhirnya Ciamis terkenal sebagai
lumbung kelapa. Pola pikirnya yang dinamis dan progresif ditunjang oleh
kecerdasan dan wibawanya dalam membangun relasi keberbagai golongan,
terutama pemerintah Belanda membuat Kanjeng Prebu sangat dihormati dan
disegani. Berkat dirinya pula maka akhirnya cultuur stelsel yang sangat
membebani rakyat dapat di hapus secara bertahap. Selain masyhur
kepemimpinannya di berbagai bidang, kanjeng prebu juga terkenal memiliki
kelebihan lain, terutama hubungan khususnya dengan onom. Banyak cerita
yang mengisahkan perihal onom dalam kaitannya dengan Kanjeng Prebu dan
beberapa bupati lainnya.
Kanjeng Prebu
setelah pengsiun kemudian diganti oleh putrannya yaitu R.A.
Kusumasubrata yang memerintah sampai tahun 1914. pada masa
pemerintahannya tercatat pernikahan Orientalis Belanda terkenal bernama
Christian Snouck Hurgronje dengan Sangkana, putri satu-satunya RH.
Muhamad Thaib, Penghulu Kepala Ciamis saat itu. Namun sayangnya setelah
Snouck kembali ke Belanda tahun 1906, sampai saat ini Snouck tidak
pernah mengungkapkan pernikahaanya, bahkan 4 orang putranya dari
Sangkana tidak diperbolehkan menemuinya dan tidak mengakuinya secara
resmi.
Setelah era R.A. Kusumasubrata,
Pemerintah Hindia Belanda tidak mengangkat keturunannya karena banyak
anggota keluarga bupati yang menentang kekuasaan Belanda, salah satunya
adalah R. Oto Gurnita Kusumasubrata. Maka tahun 1914, Belanda mengangkat
Tumenggung Sastrawinata sebagai Bupati Galuh. Bupati ini berasal dari
purwakarta dan bukan keturunan R.P.A Jayanagara, namun masih memilki
garis silsilah dari Ciancang (Utama). Dua tahun kemudian (1916) atas
persetujuan Belanda, Sastrawinata mengubah nama Kabupaten Galuh menjadi
Kabupaten Ciamis.
Dimasa
kepemerintahannya beberapa peristiwa politik terjadi. Diantaranya adalah
pembagian pulau Jawa menjadi 3 provinsi (tgl. 1 Januari 1926). Selain
itu terjadi pula pemberontakan komunis yang dipimpin oleh Egom dan
Dirja. Sastrawinata berjasa besar dalam penumpasan pemberontakan
tersebut sehingga Belanda menganugrahkan Bintang Grootkruis der
Militaire Wilems Orde. Sastrawinata kemudian digantikan oleh R.T. A.
Sunarya tahun 1935 dan memerintah sampai 1944, pada masa itu, beberapa
wilayah Kabupaten Sukapura masuk ke Wilayah Ciamis sperti Banjar,
Banjarsari, Pangandaran, dan Cijulang.
Kabupaten Ciamis Setelah Kemerdekaan RI
Masa
pemerintahan Bupati kemudian dilanjutkan R. Mas Ardiwiangun
(1944-1946). Proklamasi kemerdekaan RI adalah momoen penting yang
terjadi semasa dirinya menjabat bupati. Ardiwinangun kemudian diganti
oleh Raden Vater Dendakusumah (1946-1948) yang berasal dari Panjalu.
Dimasa itu agresi militer Belanda tengah gencar-gencarnya sehingga
Bupati sempat mengungsi dengan sebagian rakyatnya ke Gunung Sawal dan
Salakaria. Di Salakaria Bupati sempat membangun Pasar Dongkal (daerah
Ciilat). R. Veter Dendakusumah kemudian menjadi Mentri Kemakmuran Negara
Pasundan. Kepemimpinan Bupati selanjutnya dipegang oleh Tumenggung
Gumelar Wiranagara (1948-1950). Bupati Ciamis Jawa barat ini masih
keturunan Tumenggung Wiramantri yang berasal dari Utama.
Raden
Tumenggung Gumelar Wiranagara, setelah menjabat sebagai Bupati Ciamis
kemudian menjadi Bupati Bandung. Setelah itu, yang menjadi Bupati Ciamis
adalah Prawiranata (1950). Karena diangkat pada jaman Perang Grilya,
bupati ini dijuluki Bupati Grilya, namun pemerintahanya tidak
berlangsung lama, karena pada tahun itu pula Prawiranata diganti oleh
Redi Martadinata (1950-1952). Saat itu pemerintahan RIS berubah menjadi
Republik dan uang merah menjadi uang republik. Tokoh yang disiapkan
sebagai pengganti Redi Martadinata adalah Abdul Rifa’I (1952) namun
sebelum menerima jabatannya, Abdul Rifa’i diculik oleh sekelompok orang
yang tidak senang terhadap dirinya di Kuningan saat dalam perjalanan
menuju Ciamis.
Pengganti Abdul Rifa’i
adalah Mas Rais Sastradipura (1952-1954) setelah dipindahkan ke Bandung,
kemudian diganti oleh Raden Yusuf Suriadipura (1954-1958). Setelah
selesai masa jabatanya, Bupati Ciamis dilanjutkan oleh Raden Gahara
Wijayasurya (1958-1960). Saat itu diberlakukanUU RI no 1. tahun 1951
tentang Kepala Daerah Swatantra di Kab.Ciamis, Jawa barat. Dewan Daerah
kemudian menunjuk Sulaeman Effendi menjadi Kepala Derah Swatantra
Tingkat II Ciamis. Namun posisi ini diberhentikan lagi pada tanggal 5
Desember 1960 setelah ada Keppres No.6 tahun 1959. jadi dalam kurun
waktu antara 1958 sampai 1960 di Kabupaten Ciamis ada 2 pejabat
setingkat Bupati yang memiliki tugas berbeda tapi saling melengkapi.
Tugas bupatibertanggungjawab kepada bidang ekonomi dan keamanan,
sedangkan Kepala daerah Swatantra bertanggungjawab atas pajak dan
pembangunan daerah.
Tahun 1960 terjadi
perubahan penetapan Bupati dari system turun temurun di masa kerajaan,
dilanjutkan dengan system penunjukan di masa kolonial, maka setelah era
Raden Gahara Wijayasurya, pemilihan bupati dipilih oleh DPRD sebagai
parlemen daerah. Maka tampilah Raden Udia Kartapruwita (1960-1966)
sebagai Bupati pertama yang mendapat sebutan Bupati Kepala Daerah
Tingkat II Ciamis. Bupati selanjutnya adalah Kolonel Abubakar. Kiprahnya
adalah membuat tanggul Citanduy secara gotong royong. Mendapat
perhatian dari pemerintah pusat sehingga didirikan proyek Citanduy untuk
menangani Daerah Aliran Sungai. Sehingga bupati ini dijuluki Bupati
Tanggul. Selain itu, Abubakar juga membuat taman di depan Masjid Agung
Ciamis dan gedung secretariat. Memerintah selama 7 tahun disaat masa
transisi pemerintahan orde lama ke orde baru.
Jabatan
bupati berikutnya dipegang oleh Kolonel Hudli Bambang Aruman, dari 9
November 1973 samapi 20 November 1978. pembangunan yang berhasil
dilaksanakan diantaranya membuat jaringan jalan-jalan di kampung,
mendirikan Puskesmas di setiap kecamatan serta pendidikan SD inpres.
Kepala Dinas Pariwisatapun mulai diadakan. Bupati Ciamis selanjutnya
adalah Drs.H.Soeyoed yang bertugas dari 20 November 1978 sampai 7
November 1983, berasal dari Panyingkiran. Kiprahnya adalah menjadi
penggerak nelayan di Pangandaran dengan mengubah sisitem tradisional
menjadi modern. Drs.H.Soyoed kemudian digantikan oleh H. Momon
Gandasasmita pada 7 November 1983 sampai 1988. pada masa
kepemimpinannya, masalah kerohanian menjadi perhatian besar. Termasuk
juga mengiatkan PKK di daerah-daerah. H. Momon Gandasasmita, selesai
bertugas di Ciamis, menjadi Bupati di Kabupaten Garut dan terakhir
menjadi Residen di Serang.
Kolonel
Inf.H.Taufik Hidayat yang menjadi Bupati Kabupaten Ciamis periode 7
November 1988 – 7 November 1993 berasal dari Awipari Tasikmalaya.
Sebelumnya adalah Bupati Kabupaten Garut. Hasil pembangunannya
menyangkut perubahan-perubahan fisik, diantaranya, menata Kota Ciamis,
memindahkan pasar, terminal, membuat jalan lingkar selatan, memindahkan
sebagian kantor, menyelesaikan Gelanggang Galuh Taruna, membangun
Stadion Galuh, membangun jembatan Sungai Citanduy antara Bojong dan
Cimaraga dan Pembangunan Lanud Nusawiru. Bidang Olahraga mendapat
perhatian khusus dari bupati ini.
Penggantinya
adalah Kol.Kav. H. Dedem Ruchlia (1993-1998), kiprahnya meneruskan
jejak kerja bupati terdahulunya. Seperti Pembuatan Taman Air Mancur
rafflesia, Perombakan Situs Karangkamulyan, dan mengembalikan lagi pamor
Gedung Negara ke bentuk aslinya, dan membangun Gedung DPRD yang megah.
Sebelum jabatanya berakhir Dedem Ruchlia diangkat menjadi wakil Gubernur
Jawa Barat Bidang Kesra dan jabatanya diserahkan kepada wakil bupati,
Drs. Maman Suparman Rachman.6 April 1999, H. Oma Sasmita S.H menjadi
bupati pertama Ciamis di masa reformasi. penegakan disiplin di
lingkungan karyawan merupakan salah satu upayanya. Oma Sasmita
memerintah sampai April 2004.
Kolonel
(Purn) H. Engkon Komara, menjadi Bupati ke 37 menurut silsilah Hari Jadi
Ciamis. Dilantik pada tanggal 6 April 2004. jabatan terakhirnya sebelum
menjadi Bupati adalah Kepala Staf Garnisum II Bandung-Cimahi, karirnya
yang mulus dibidang militer membuat dirinya mendapat berbagai bintang
penghargaan. Antara lain Satya Lencana Seroja, Satya Lencana Bhakti,
satya Lencana Dwija Cista dan Bintang Veteran Timor Timur.
Engkon
Komara memimpin Ciamis dengan konsep partisipatif, selalu berusaha
menyerap aspirasi seluruh komponen masyarakat dalam pembangunan
daerahnya. Sehingga berbagai bidang pembangunan seperti pertanian,
perkebunan, perikanan, peternakan dan pariwisata menjadi unggulan dan
berpotensi besar di Jawa Barat. Tekad lainnya adalah mengembangkan
agrobisnis dan pariwisata Ciamis agar menjadi yang termaju di wilayah
priangan. Kendati kepemimpinannya tengah diuji oleh wacana pemekaran
wilayah di Ciamis Selatan, seolah menjadi sisi lain dari dinamika
politik yang tengah dicari solusinya dengan tepat dan bermanfaat bagi
seluruh masyarakat Ciamis.
Sebuah petuah bijak Prabu Niskala Wastukancana, yang berbunyi pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya di buana,
semoga menjadi landasan moral bagi figur pemimpinan Kabupaten Ciamis di
masa kini dan yang akan datang, agar Ciamis betul-betul-betul dinamis.