Kondisi ini tidak hanya ditemukan pada masyarakat umum saja, tetapi juga warga di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan). mengingat cepatnya pergantian orang yang keluar masuk di rumah tahanan, yang mungkin menderita dan menularkan penyakit seperti TB.
Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan (Kemkes) Sigit Priohutomo mengatakan, bahwa permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam penanganan TB adalah masalah resistensi obat atau kekebalan terhadap obat saat prosedur pengobatan terhenti di tengah jalan.
"Pasien TB yang sudah resisten obat akan semakin sulit disembuhkan dan membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Biasanya obat-obatan oral hanya dikonsumsi sekitar enam bulan atau dua bulan untuk obat suntik, pasien TB yang resistan obat harus minum obat oral selama dua tahun lebih, sementara obat suntik bisa sampai 18 bulan," kata Sigit, di Rutan Cipinang Jakarta Timur, Selasa (24/2/2015).
Oleh karena itu, penatalaksanaan pengendalian TB di Rutan atau Lapas harus diatur sedemikian rupa, tidak hanya untuk mencegah penularan TB, namun agar prosedur pengobatan tidak drop out atau putus.
Pada kesempatan yang sama, Dr Yulius Sumarli, SH, Koordinator Poliklinik Rutan Kelas I Cipinang, menyampaikan bahwa usaha pengobatan pasien harus tetap diteruskan, sekalipun warga binaan pemasyarakatan telah keluar dari rutan atau lapas. Untuk mencapai ini, diperlukan kerja sama oleh pihak luar untuk membantu memantau dan melayani pasien TB.
"Dalam dua tiga tahun ini kita bekerja sama dengan Kemenkes untuk bagaimana bisa membantu pasien meneruskan pengobatan dari Rutan ke Lapas atau setelah bebas. Ini agar pasien jangan sampai lolos dari pengobatan. Dibantu keluarga, LSM, NGO, dan pihak puskesmas atau rumah sakit, agar pasien TB yang belum tuntas dan telah bebas dapat dipantau dan diperrhatikan terus," jelasnya.
.